Keluarga sebagai Akar Peradaban

(Upaya Mengokohkan Kembali Peran Keluarga untuk Membendung Pengaruh Serbuan Ghazwul Fikri)

***

Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. At-Tahrim: 6)

***

Tujuh miliar manusia yang kini tinggal di kolong langit ini pada awalnya hanya dimulai oleh sebuah keluarga kecil ribuan tahun yang lalu: keluarga Nabi Adam ‘alaihissalam. Bersama Ibunda Hawa, Nabi Adam menyingsingkan lengan baju, berniat memakmurkan bumi, membangun peradaban umat manusia sebagai bentuk taubatan nasuha, atau dalam lain perkataan, suatu “pertanggungjawaban moral” atas sebuah pelanggaran terhadap batas syari’at yang telah dilakukannya di tanah surga. Sekaligus sebagai perwujudan rasa syukur atas pengampunan yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada mereka berdua.

Sebesar dan sekompleks apapun suatu peradaban, pada awalnya dibangun oleh individu-individu. Melalui individu-individu inilah akan menentukan nilai-nilai yang mendasari suatu peradaban tersebut. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mulai diperintah oleh Allah subhanahu wata’ala untuk membangun peradaban Islam, yang dilakukan pertama kali oleh beliau adalah memperbaiki akhlak kaumnya. Perilaku-perilaku tidak terpuji yang sebelumnya dipraktekkan oleh bangsa Arab, seperti budaya pagan, saling mengunggulkan kabilahnya, perbudakan, mengganggap wanita sebagai benda, dan membunuh bayi perempuan, lambat laun hilang. Digantikan oleh konsep mengesakan Tuhan, sikap toleransi, persamaan derajat, menghormati kaum wanita, dan menyayangi anak kecil.

Ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi dasar dibangunnya peradaban umat ini. Namun, dalam konteks sekarang, ada upaya-upaya mengusangkan dan mendekonstruksi nilai-nilai ajaran Islam. Sebagai indikasi awalnya adalah kualitas umat Islam yang tidak sebanding dengan kuantitasnya. Jumlah orang Islam yang banyak dewasa ini, tidak diimbangi dengan pengamalan nilai-nilai Islam oleh para pemeluknya. Sehingga umat ini, walaupun banyak, namun tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam kancah dunia internasional, dalam berbagai kesempatan malah hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Hal seperti inilah yang pernah digambarkan oleh Kanjeng Nabi sebagai umat yang “laksana buih di lautan”, walaupun banyak tetapi mudah terombang-ambing. Atau bahkan seperti nubuwwah lainnya, yaitu “umat yang bagaikan hidangan”, menjadi santapan umat-umat lain.

Jika diibaratkan sebuah piranti lunak, Islam adalah software yang paling up to date, paling baru, paling canggih, bahkan yang paling final, dikarenakan tidak akan ada lagi agama yang akan diturunkan untuk memperbaharui ajaran Islam. Permasalahan yang kini dihadapi adalah: apakah software itu hanya kita biarkan ter-install tanpa dioperasikan untuk diambil manfaatnya, tanpa kita berusaha menguliknya, atau bahkan kita tidak meng-install-nya sama sekali? Dan, sebuah hukum dalam dunia per-software-an akhirnya berlaku: setiap kemunculan software akan diikuti oleh munculnya virus, virus diciptakan setelah ada software. Obatnya? Tak lain adalah antivirus yang dibuat setelah adanya virus. Kalau virusnya sudah parah? Ya, solusinya hanya satu: install ulang. Install ulang sangat dimungkinkan, karena suatu software tidak akan musnah atau hilang. Bahasa teknisnya “masih ada back-up” nya, bisa diunduh lagi.

Virus-virus yang merusak umat Islam dalam hal pola pikir jauh lebih berbahaya daripada serangan-serangan fisik. Umat Islam mempunyai konsep tersendiri, yang disebut dengan jihad, untuk menghadapi serangan fisik yang kasat mata. Bahkan, tak jarang, umat Islam memenangkan pertempuran di manapun mereka berada. Pembebasan negeri-negeri muslim yang dijajah oleh bangsa-bangsa Barat sudah membuktikan akan kuatnya mental dan moral umat Islam dalam menghadapi serangan bersenjata dan operasi militer. Namun, umat ini masih lemah dalam menghadapi serangan-serangan yang tak kasat mata, tak kentara, tak mengeluarkan mesiu, dan tak menumpahkan darah. Belumlah usai umat ini memerangi penyakit klasiknya: kemiskinan dan kebodohan, sudah digelar lagi medan pertempuran baru yang mau tidak mau harus dihadapi oleh umat Islam: perang pemikiran.

Serangan-serangan dari pihak luar yang digelorakan di berbagai bidang kehidupan sangat-sangat menggerus nilai-nilai ajaran Islam yang sudah mengakar empat belas abad ini. Budaya-budaya rasialisme, bisnis ribawi, konsumtivisme, hedonisme, pergaulan bebas tanpa batas, aliran sekularisme dalam bernegara, paham pluralisme agama, dan konsep pe-liberal-an dalam berpikir, sudah mulai digelorakan, bahkan oleh orang-orang Islam sendiri. Tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan kemungkaran umat-umat terdahulu seperti perilaku keji umat Nabi Luth ‘alaihissalam-pun sudah mulai digembar-gemborkan atas nama hak asasi manusia, persamaan derajat, dan toleransi. Sungguh, suatu pemutarbalikan konsep yang melampaui batas.

Lalu, adakah solusi untuk masalah ini? Kita harus yakin pasti ada. Al-Qur’an pun sudah menuliskan rumus dalam surah Al-Insyirah, bahwa “bersama kesulitan ada kemudahan”. Bahkan disebutkan sampai dua kali. Dan “kemudahan” tersebut membersamai “kesulitan”. Jadi, bukannya kemudahan tersebut baru datang sesudah kesulitan.

Pendidikan adalah cara paling cepat dan solusi paling masuk akal untuk membendung tsunami kesesatan-kerusakan-kemaksiatan tersebut. Lewat pendidikan-lah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing kaumnya. Nabi memulai dari lingkaran terdekatnya, dari ring satunya: dari keluarganya sendiri. Lambat laun lingkaran tersebut membesar dan menciptakan peradaban tauhid di bumi ini. Hasilnya, peradaban Islam mampu bertahan seribu empat ratus tahun sampai saat ini. Bahkan pernah berjaya memimpin sepertiga bumi ini. Dan kelak, dengan izin Allah, juga akan memimpin bumi ini lagi. Padahal hanya diawali dari sebuah proses pendidikan tauhid di dalam keluarga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Jauh sebelum zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, pentingnya pendidikan dalam keluarga sudah dipraktikkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ketika Nabi Ibrahim bermimpi diperintah menyembelih putranya, Nabi Ismail, datang syetan membujuk Nabi Ibrahim untuk mengabaikan mimpi tersebut. Seketika syetan dilempar batu oleh Nabi Ibrahim. Begitupun ketika syetan beralih membujuk Nabi Ismail agar membujuk ayahnya, Ismail pun melempar syetan dengan batu. Dan syetan pun mendapat lemparan batu dari Hajar, ibu Nabi Ismail, ketika berusaha membujuk agar membatalkan niat Nabi Ibrahim. Kekompakan keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam mengusir syetan tersebut menunjukkan berjalannya proses pendidikan tauhid dalam keluarga. Salah satu karunia dari Allah yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah berhasil dalam melakukan pendidikan tauhid dalam keluarganya adalah dijadikannya keturunan Nabi Ibrahim sebagai rasul-rasul dan nabi-nabi untuk peradaban-peradaban sesudahnya. Berawal dari sebuah keluarga kecil Nabi Ibrahim, puluhan peradaban lahir ke dunia.

Ibarat sebuah pohon, keluarga adalah awal mula benih-benih tauhid ditanam, disiram, dipupuk dan dipelihara supaya tumbuh subur menjulang tinggi untuk kemudian pohon tersebut dapat diambil manfaatnya. Kualitas pohon tersebut akan ditentukan sejauhmana perilaku orang yang merawatnya. Apakah asal-asalan merawat, yang penting hidup. Atau justru tidak merawatnya, yang mengakibatkan layu, rusak, bahkan matinya pohon tersebut.

Umat Islam yang masih memiliki kesadaran dan keprihatinan akan kondisi yang tengah dihadapi ini harus segera berbenah memperbaiki diri. Kembali ke hal yang paling dekat dengan kita. Kembali ke hal yang paling sederhana. Kembali ke hal yang paling mungkin untuk kita lakukan. Kembali menguatkan peran keluarga. Bukankah Allah-pun sudah menunjukkan jalan-Nya melalui dustur Ilahi di awal tulisan ini.

***

Gunung Sahari Raya, 16022016

***

**) Penulis adalah alumnus IAIN Walisongo Semarang, tinggal di Jakarta.

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Siklus 700 Tahun

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Neraka di Bawah Telapak Kaki Ibu