Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

***

Bandung adalah salah satu kota dengan kisah historis yang menyisakan romantika dan kenangan mendalam bagi perjuangan kemerdekaan negeri ini. Selain peristiwa Bandung Lautan Api yang heroik dan menyejarah, ada beberapa hal tentang kota simbol tatar Pasundan ini, yang akan selalu diingat oleh bangsa Indonesia.

***

Soekarno adalah salah satu simbol representasi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beliau menggeluti pendidikan sarjana bidang teknik ilmu bangunan, jalan, dan air di Kota Kembang, di sebuah perguruan tinggi yang sekarang tersohor dengan nama Institut Teknologi Bandung.

Di ibukota bumi Priangan ini pula, selama setahun, beliau harus merasakan dinginnya jeruji besi serta senyapnya dinding dan lantai hotel prodeo karena menggugat kolonialisme. Sejarah mencatat Penjara Banceuy dan Sukamiskin pernah menjadi tempat untuk mengurung dan membatasi bakat besar yang dipunyai oleh si bung.

Dari kota ini pula, pada pertengahan abad XX, Bung Karno mampu menggandeng negeri-negeri di Asia dan Afrika untuk bangkit menyuarakan perlawanan terhadap kolonialisme, neokolonialisme, dan imperialisme, serta menyejajarkan diri dengan negara-negara Barat maupun Timur yang mendominasi percaturan global pada masa itu. Melalui Konferensi Asia Afrika, Putra Sang Fajar membuktikan bahwa kalimat dalam Preambule UUD 1945 yang berbunyi “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa” harus dan dapat diwujudkan.

***

Dan, tentunya, hampir sebagian besar anak-anak Indonesia sedari kecil sudah mengenal Paris van Java melalui bait-bait dua lagu yang sangat ikonik dengannya: “Halo-Halo Bandung” dan “Naik Kereta Api”.

***

Di sebuah warung makan sederhana di tepi Jalan Soekarno-Hatta kawasan Buah Batu Kota Bandung, saya mencoba mengulik informasi untuk menuju Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, tempat dulu Bung Karno menjalani vonis hukuman penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan kolonial.

Si bapak empunya warung langsung mempersilakan saya untuk mengambil sendiri menu yang telah tersedia. Ternyata warung ini adalah warung prasmanan. Silakan ambil sendiri sepuasnya. Yang penting bertanggung jawab. Langsung saja, nasi yang masih mengepul saya bongkar dari dalam alat penghangat, dalam sekejap sudah berpindah tempat ke atas piring. Nasib yang sama juga dialami mangkuk-mangkuk yang berisi sayur kangkung kuah bening, sayur kacang polong, telur bulat goreng sambal, dan tidak lupa tempe goreng, langsung saya angkut ke atas piring juga. Tidak lupa teh manis hangat dan pisang hijau ikut melengkapi kudapan pencuci mulut. Walaupun warung ini sederhana, namun citarasa masakannya di atas rata-rata. Hampir sama dengan citarasa masakan-masakan di Jawa yang “seperti ada manis-manisnya”. Satu lagi nilai tambahnya: harganya murah meriah. Pengalaman yang sama juga saya dapatkan ketika menikmati sepincuk nasi merah, semur jengkol, telur bulat goreng sambal, dan sambal cabai hijau, di kawasan Masjid Raya Bandung: enak dan murah.

Kawasan Alun-Alun dan Masjid Raya Bandung.

Bapak si empunya warung menunjukkan rute untuk menuju Sukamiskin. Tentunya setelah saya memberanikan diri untuk bertanya. Bapak ini sangat ramah. Beliau sangat detail menerangkan arah jurusan angkot yang harus saya naiki. Tidak hanya jalan menuju ke Sukamiskin saja, si bapak juga menjelaskan jalan kembali dari Sukamiskin ke arah kota. Beliau juga memberikan alternatif bagi saya jika ingin menggunakan jasa Trans Metro Bandung yang harga karcisnya untuk jarak jauh ataupun dekat sama saja: Rp4.000,-.

***

Kesan positif saya dapatkan saat bertemu dengan orang Sunda. Setiap kali bersalaman, baik itu setelah shalat maupun ketika bertemu, mereka membalas jabat tangan sambil menunduk agak dalam. Pernah suatu ketika saya sedang memakai sepatu sambil lesehan di lantai, seseorang yang lewat di depan saya mengucapkan “punten” (permisi dalam bahasa Sunda) sambil merunduk dan mengulurkan tangan. Padahal beliaunya saya taksir berusia di atas saya. Dan sambil tersenyum, saya pun langsung refleks menjawab “mangga”.

Setidaknya, kesan positif ini sedikit meredakan rasa ngeri saya jika melihat hubungan antara Jakmania dan Viking yang tidak harmonis.

***

Hal menarik lain dari Kota Kembang adalah mojang-mojangnya yang “geulis-geulis pisan euy”. Bahkan Kang Emil sendiri pernah berkelakar, bahwa jika ada lima mojang Bandung sedang berjalan di siang hari, maka yang cantik ada sepuluh. Karena bayangannya juga cantik.

***

Satu hal lagi yang cukup unik bagi saya adalah orang Bandung melafalkan Persib dengan ‘e’ seperti bunyi ‘e’ kedua pada kata ‘terompet’. Sedangkan kebanyakan orang Jawa melafalkan seperti pada ‘e’ yang pertama. Dan itu menjadi keunikan tersendiri di Indonesia.

***

Salah satu “petilasan” Bung Karno di Bandung adalah Lapas Sukamiskin. Tempat tersebut dari Jalan Soekarno-Hatta di kawasan Buah Batu dapat ditempuh dengan naik angkot warna hijau jurusan Cibiru. Sesampainya di Bundaran Cibiru kita harus turun dan ganti naik angkot yang menuju Cicaheum.

Rute ini melewati kampus UIN Sunan Gunung Djati dan Masjid Besar Ujungberung, salah satu masjid tertua di Kota Bandung. Tepat di sebelah timur Masjid Besar Ujungberung terdapat Alun-Alun Ujungberung. Sebuah jalan memisahkan kedua tempat ini. Dari sana, jika kita mengarahkan pandangan dari utara ke selatan akan terlihat jelas deretan pegunungan. Alun-Alun Ujungberung mempunyai gapura unik yang berbentuk gunungan seperti yang sering terdapat dalam pementasan wayang. Ada sebuah menara pandang di sudut alun-alun yang disediakan bagi para pengunjung untuk melihat dari ketinggian. Sepanjang jalan Ujungberung ini didominasi oleh deretan toko perhiasan emas.

Toko Buku Tidak Lengkap di dekat kampus UIN Sunan Gunung Djati.
Silakan bagi siapa yang ingin melengkapi koleksi bukunya.

Masjid Besar Ujungberung. Salah satu masjid tertua di Bandung.

Pak sopir angkot sedikit melambatkan mobil sambil menanyakan tempat di mana saya akan turun, apakah akan menuju Arcamanik, yang notabene sudah dekat. Saya balik bertanya, apakah angkot ini via depan LP Sukamiskin, karena saya akan turun di sana. Pak sopir mengiyakan. Selang beberapa menit angkot yang saya tumpangi turun persis di depan Lapas Sukamiskin. Lapas yang memiliki bentuk unik jika dilihat dari udara ini terletak di Jalan Abdul Haris Nasution, Kelurahan Sukamiskin, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung.

***
Demam huruf balok tidak hanya melanda tempat-tempat wisata konvensional.

Sesampainya memasuki LP Sukamiskin, saya melihat beberapa pengunjung berswafoto dengan latar belakang papan nama Lapas Sukamiskin. Seorang juru parkir saya hampiri untuk menanyakan bagaimana prosedur jika ingin melihat kamar tahanan Bung Karno. Beliau mengarahkan saya untuk langsung bertanya kepada petugas di pos registrasi. Ketika sampai di tempat yang dimaksud, saya melihat banyak sekali tamu-tamu yang tanpa ba-bi-bu langsung diberi selembar formulir oleh petugas yang sedang berjaga. Tamu-tamu tersebut dengan cekatan langsung mengisinya. Sepertinya mereka sudah terbiasa datang ke tempat ini. Saya pun ikut-ikutan saja meminta dan mengisinya.

Namun, saya tidak dapat melanjutkan mengisi borang tersebut ketika telah sampai pada isian yang menanyakan tentang siapa narapidana yang akan saya kunjungi pada hari itu.

Surat Izin Berkunjung yang wajib diisi oleh para pembesuk narapidana di Lapas Sukamiskin.

Saya pun langsung mengutarakan maksud kedatangan saya kepada petugas. Dan jawaban yang kurang menggembirakan harus saya maklumi. Bapak penjaga mengatakan bahwa tidak semua orang bisa mengunjungi kamar tahanan yang telah dimuseumkan tersebut. Ternyata ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi bagi yang ingin mengunjungi ruangan bekas kamar tahanan Bung Karno. Pengelola Lapas tidak memberi izin masuk bagi perseorangan. Hanya rombongan yang memiliki surat pengantar resmi dari lembaga atau institusi-lah yang diperbolehkan untuk melihatnya.

Akhirnya saya pun balik kanan bubar jalan.

***

Setidaknya saya sekarang menjadi mafhum, bahwa orang-orang di zaman lampau banyak yang masuk penjara dan menjalani kesengsaraan terlebih dahulu sebelum menjadi pemimpin dan orang besar. Nabi Yusuf ’alaihissalam, Ibnu Taimiyah, Sayyid Quthub, Soekarno, Mohandas K. Gandhi, Buya Hamka, Martin Luther King Jr., dan Rolihlahla Mandela, barangkali sedikit nama dari golongan tersebut.

Hal sebaliknya justru terjadi pada zaman sekarang, banyak orang yang dijebloskan ke hotel prodeo setelah menjadi pemimpin atau pejabat publik. Kalau untuk urusan yang ini, tidaklah perlu menyebut nama. Cukuplah berdoa semoga diri kita diselamatkan dari hal yang demikian. Dari penjara dunia, terlebih-lebih penjara akhirat. Wallahu a’lam.

***

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Siklus 700 Tahun

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Neraka di Bawah Telapak Kaki Ibu