Gunungtawang (Jilid 7)

***

Fatia yang mengirimiku kabar itu.

“Mas, Bapak dirawat di rumah sakit,” hanya enam kata isi pesan singkatnya yang masuk ke telepon selulerku semalam.

“Kenapa Arin tidak mengabariku,” selidik hati kecilku.

Tanpa panjang pikir, yang nantinya akan berburuk sangka, aku langsung bergegas menyiapkan diri.

Rencana esok hari aku akan pulang kampung. Semoga selamat sampai tujuan.

***

Sang waktu segera menuju pukul tujuh pagi ketika aku mencium tangan ibu untuk pamit. Perjalanan ini sengaja kutempuh sendirian.

“Aku besok baru bisa nyusul ke sana, Zan,” jawab Farid ketika kuajak berangkat bareng. “Masih ada pekerjaan yang harus selesai hari ini juga,” pungkasnya memastikan.

“Okelah. Yang penting sama-sama sampai dengan selamat. Kutunggu di sana…, aku memaklumi.

***

Sejak bakda subuh tadi sengaja kuminta izin ayah untuk meminjam motornya. Sekaligus kuutarakan niatku untuk pergi ke kampung. Maklum, untuk perjalanan luar kota, aku tidak tega untuk mengajak si hitam.

Kusempatkan memenuhi tangki motor di sebuah pom bensin satu-satunya di kampungku. Setelah itu perjalanan ke Wonosobo kumulai lewat jalur Mijen. Jalanan yang berlawanan arah sangat-sangat ramai ketika kulewati pagi itu.

Rasanya jalan ini tak seimbang dengan banyaknya beban yang terus melewati setiap harinya. Lebar jalan ini, sejak sepuluh tahun yang lalu tidak bertambah sedikitpun. Hanya beberapa ratus meter jalanan yang membelah hutan karet seluas seribu hektar ini yang sudah dibagi dua jalur berlawanan arah. Dengan dua lajur di masing-masingnya.

Sampai di pertigaan Cangkiran kuambil arah kanan. Ke arah Boja. Walaupun arah ke kiri sebenarnya akan bermuara di tempat yang sama. Aku memilih jalur yang relatif lebih ramai.

***

Motorku sempat terhambat lajunya di kawasan Pasar Boja. Kulihat jalanan ditutup. Ternyata ada pelepasan jamaah haji. Bus-bus besar dengan rakusnya memakan bahu dan badan jalan yang tak seberapa lebar ini. Ratusan tamu-tamu Allah dengan seragam senada hijau telur, berbaris memasuki bus pengantarnya satu persatu. Para calon jamaah itu sebenarnya tidak seberapa, rombongan pengantarnya itu yang hiruk pikuk luar biasa. Belum lagi ditambah “jamaah ekonomi kreatif” yang mengharapkan berkah dari momen tahunan tersebut.

Hampir lima menit motorku tertahan tidak bisa bergerak. Kutemui seorang polisi yang membantu mengatur lalu lintas.

“Lewat kampung saja, Mas, ada jalan tikus,” saran anggota Bhayangkara itu.

Bersama beberapa pengendara, langsung kupercayai saja petunjuknya.

Lima menitan aku masuk ke jalanan sempit di tengah-tengah pemukiman warga. Setelah kembali ke jalan utama, sepuluh menit kemudian aku telah sampai di Singorojo, sebuah tempat yang mengingatkanku tentang masa-masa penggemblengan diri bersama sahabat. Jalan tidak hanya berlika-liku, tapi juga naik turun.

***

Akhirnya sampai di sebuah pertigaan. Aku mengambil arah kiri karena di papan petunjuk tertulis Bejen. Kalau ke kanan ke arah Weleri.

Setelah awalnya mulus, akhirnya aku memasuki jalanan desa yang cukup mengocok perut dan mengoyak persendian. Lubang di sana-sini yang siap memangsa. Rekahan sisa aspal yang mencuat bak jebakan. Hamparan kerikil tajam yang siap menggigit. Ditambah debu jalanan yang menyesakkan lubang pernafasan. Gambaran sebuah fasilitas umum tak paripurna yang hanya berjarak sekian kilometer dari ibukota provinsi.

Tiba-tiba teringat sebuah kisah belasan abad lampau, tentang Khalifah Umar yang takut diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak, tersebab buruknya kualitas jalanan di Arab sana yang dikhawatirkan dapat menjungkalkan seekor unta milik rakyatnya.

“Peredam getar kepunyaan si hitam pasti akan menjerit-jerit penuh penderitaan jika lewat sini,” sedikit bersyukur aku tidak mengajaknya.

***

Nampaknya penderitaanku segera berakhir karena di depanku terlihat sebuah persimpangan dengan tugu di tengahnya.

Aku mulai bingung. Tidak ada papan informasi penunjuk arah. Sementara tugu ini mempunyai empat simpangan yang aku tak tahu mengarah ke mana saja. Kuhentikan motorku di dekat seorang bapak yang sedang kerja bakti di pinggir jalan.

“Lurus saja, Mas. Nanti ada pertigaan belok kiri,” jawabnya ketika kutanyakan arah ke Temanggung.

Langsung kupacu motor ke arah yang ditunjukkannya. Tentunya setelah berterima kasih dengan sedikit ramah tamah.

***

Sepi. Benar-benar nyenyat. Otak ini sedikit berpikir yang aneh-aneh. Itulah perasaanku ketika melewati Bejen yang sebagian besarnya adalah hutan.

Siang seterang-benderang ini saja sepinya bukan main, apalagi kalau malam... Adakah yang mau melewati jalan ini…,” khayalan-khayalan aneh mulai menggelayut di anganku.

“Lain kali kalau lewat sini jangan sendirian….”

“Hati-hati dengan yang terlihat, daripada dengan yang tak terlihat….”

Seolah-olah ada suara-suara yang makin menambah pacuan adrenalin dan membangatkan motor tungganganku. Sembari sesekali aku melongok spion kanan dan kiri untuk sekadar waskita.

Kenangan malam-malam gelap gulita memintasi jenggala Dokoro di Grobogan hampir dua tahun yang lalu membayang.

***

Tigapuluh menitan kemudian akhirnya terlihat sebuah papan penunjuk arah di sebuah pertigaan. Tanpa ragu kubelokkan motor ke arah selatan. Sesuai yang dikatakan bapak tadi. Di papan itu tertulis Temanggung dengan panah ke arah kiri. Weleri adalah arah sebaliknya.

Ini sudah mulai jalan raya,” sedikit nyaman perasaanku.

Lewat pukul sembilan pagi sampai di daerah Ngadirejo, tempat yang tersohor berkat petirtaan Umbul Jumprit-nya itu. Setelah sebelumnya sempat berhenti untuk menyambangi seorang tukang tambal ban sembari menanyakan arah ke Wonosobo.

Tepat di persimpangan Pasar Ngadirejo, tanpa ragu kuikuti arah Wonosobo/Dieng seperti yang ditunjukkan sebuah penanda. Dan perjalanan selanjutnya adalah ujian berat bagi “kuda Jepang” yang kutunggangi.

Aku sempat ragu dan mengira salah arah karena jalanan terus naik, naik, dan naik. Namun kemudian berbalik mantap dan yakin setelah rombongan petani kentang di pinggir jalan memberiku kepastian arah jalan.

***

Lelah yang disandang oleh mata, pegal di persendian kedua tangan, kaki yang sudah mulai bergetaran, dan pinggul yang sempoyongan selama kurang lebih dua jam ini sirna seketika, karena langsung dibayar kontan oleh gelaran alam yang memukau. Setidaknya bagiku, itu sangat memukau, karena tidak kujumpai di kotaku.

Puncak-puncak Sindoro dan Sumbing memamerkan keperkasaannya. Keperkasaan yang dipadu dengan pengayoman bagi para petani penggarap dataran hijau di lereng-lerengnya. Konon, dua ancala kembar itu, selain Merapi dan Merbabu, adalah dua gunung yang paling sering digambar oleh jutaan anak Sekolah Dasar di negeri ini. Jalanan yang tak begitu lebar namun mulus ini kulalui sambil menikmati deretan awan putih yang seakan-akan dapat kuraih hanya dengan melompat. Benar-benar memukau negeri di atas awan ini.

***

Pukul sepuluh lebih sedikit aku memasuki ruang Flamboyan 405.

Bapak terbaring di sana. Senyumnya merekah melihat kepulanganku.

***

Hawa dingin ini benar-benar menembus tulang, menyentuh saraf, dan membelai ubun-ubun. Tak memperdulikan kaos lengan panjang terbungkus jaket yang menyelubungi tubuhku. Kuraih telepon genggam. Terlihat di sana empat digit angka: 03.19. Gunungtawang begitu dingin di pagi ini. Adzan subuh masih satu jam lagi...

***

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Repot*)

Siklus 700 Tahun

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Neraka di Bawah Telapak Kaki Ibu