Gunungtawang (Jilid 1)


***

Aku masih ingat hari itu, Selasa, tanggal enam bulan kesepuluh tahun dua ribu sembilan. Hari di mana aku akan memulai hidup jauh dari rumah, jauh dari ibu, jauh dari ayah, jauh dari kakak, dan jauh dari rental komputerku; kelima hal yang sejak kecil menjadi bagian dari nafas dan detak nadiku.

Wonosobo. Ya, kota dingin di lereng gunung Sumbing dan Sindoro itulah yang akan kutinggali selama empat puluh lima hari ke depan. Bukan tinggal sekedar tinggal, tetapi untuk melaksanakan kewajibanku sebagai mahasiswa jika aku masih ingin lulus kuliah: KKN, Kuliah Kerja Nyata. Beruntungnya KKN kali ini masih program PBA, Pemberantasan Buta Aksara. Itu artinya, biaya yang harus kami (mahasiswa KKN) keluarkan tergolong murah, karena memang program PBA ini adalah program pemerintah. Jadi, kas negaralah yang digunakan pemerintah untuk membiayai sebagian besar program ini. Entah apakah ada yang bocor dalam anggaran program ini. Aku tidak tahu.

Setelah cek sana, cek sini, dan dirasa sudah siap, aku berpamitan kepada ibu, ayah dan kakakku. Hanya satu pesan mereka: hati-hati. Wajar memang. Sejak kecil aku memang tidak pernah berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama dengan mereka. Paling lama aku berpisah cukup jauh dengan mereka adalah ketika piknik ke Bali waktu kelas dua SMA (itupun cuma lima hari). Saat berpamitan itu, untuk menghibur diriku sendiri, aku merasa bangga, seolah-olah aku ini seorang prajurit yang akan berangkat ke medan pertempuran. Setidak-tidaknya karena memang aku mendapat tugas untuk memerangi buta aksara.

Setibanya di kampus satu kulihat puluhan orang berjaket hitam-biru sudah memenuhi beberapa sudut lapangan. Jaket hitam-biru itulah pakaian kebesaran yang menjadi identitas kami selama KKN supaya mudah dikenali. Tentunya mereka juga sudah standby dengan barang bawaan masing-masing. Dengan melihat barang bawaan seperti itu, aku sempat berpikir bahwa inilah acara pindah kos-kosan besar-besaran dari Ngaliyan ke Wonosobo. Yang kulakukan pertama kali waktu itu adalah berkoordinasi dengan teman satu posko, untuk checking terakhir supaya jangan ada barang bawaan yang tertinggal.

Setelah sarapan dan seremonial pemberangkatan yang disertai untaian doa keselamatan di kampus satu, aku bersama seluruh rombongan berangkat bersama-sama. Ada yang naik mobil yang dicarter oleh pihak kampus. Namun tak sedikit juga yang memilih mengendarai sepeda motor. Aku memilih yang kedua. Alasannya sederhana: aku ingin merasakan sensasi touring. Tapi bukan motorku sendiri yang aku naiki (aku tidak bawa motor karena ayahku tidak mengizinkan) melainkan aku membonceng Sriyanto, teman satu perjuangan yang kebetulan juga masih sekecamatan pada saat KKN nanti.

Rombongan KKN mengambil rute Ngaliyan – Mijen – Boja – Singorojo – Ngadirejo – Parakan – Temanggung – Wonosobo. Tak terasa puncak Sindoro dan Sumbing terlihat sudah. Itu artinya tujuanku sebentar lagi tercapai. Namun perubahan suhu yang cukup drastis kualami ketika sampai di Parakan. Suhu di sana sudah cukup membuat aku menggigil. Apalagi sudah sejak lahir aku tinggal di Semarang yang notabene cuacanya cukup panas. Laju sepeda motor kian membuat dingin yang kurasakan semakin menusuk. Yang kubayangkan waktu itu: beginikah cuaca Wonosobo nanti? Apakah tubuhku cukup kuat hidup satu setengah bulan dengan cuaca seperti ini? Dalam hati aku menyesal tidak membawa selimut yang tebal. Ah, tidak menjadi soal. Aku menghibur diri. Nanti juga tubuhku bisa beradaptasi dan aklimatisasi.

Akhirnya, setelah perjalanan darat selama kurang lebih tiga jam, sekitar pukul sebelas siang kami tiba di Kantor Bupati Wonosobo.

bersambung…

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman