Gunungtawang (Jilid 2)
***
Sejuk. Itulah kesan pertamaku ketika menginjakkan kaki di Wonosobo. Kesan yang cukup untuk mengurangi kepenatan akibat perjalanan darat selama tiga jam dari Ngaliyan. Rombongan KKN berhenti di Kantor Bupati. Kantor ini terletak di jantung kota Wonosobo. Tepat di depannya, alun-alun Wonosobo yang cukup indah itu, terhampar. Aku cukup kagum dengan alun-alun itu. Menurutku alun-alun itu jauh lebih cantik dan indah daripada Simpang Lima di kotaku. Apalagi jika dibandingkan dengan alun-alun Semarang kuno di Johar yang sekarang sudah tidak jelas bentuk dan peruntukannya. Yang kurasakan adalah kecewa mengapa pemerintah kotaku tidak becus mengelola alun-alun yang menurut sebagian besar orang adalah jantung dan ikon sebuah kota.
Setelah rehat sejenak, akhirnya rombongan dipersilahkan memasuki pendopo kabupaten. Acara serah terima akan segera digelar. Ternyata dalam acara tersebut, dua orang penting (Pak Jamil dan Pak Kholiq) yang seharusnya hadir, malah memilih absen. Mereka hanya diwakilkan oleh bawahannya. Aku kemudian teringat dengan pertemuan keduanya dalam acara Debat Kandidat Calon Gubernur Jawa Tengah 2008 lalu. Waktu itu Pak Kholiq adalah calon wakil gubernur, meskipun akhirnya tidak terpilih. Dan Pak Jamil, bersama Ichsanudin Noorsy dan seorang Guru Besar dari Universitas Diponegoro, menjadi panelis dalam acara debat kandidat tersebut.
Seremonialpun selesai dan ini yang aku tunggu: makan siang. Sejak tiba tadi sudah kulihat tumpukan kardus berjejer rapi di depan pintu masuk pendopo. Itu pasti untuk kami, gumamku waktu itu. Dan memang perjalanan naik motor tadi menguras energi cukup banyak. Setelah makan siang kami berkoordinasi dengan kepala desa per posko. Inilah saatnya bagi mahasiswa KKN untuk menyebar, berpencar menuju homestay masing-masing. Kepada beberapa teman yang berlainan posko kusalami mereka dan kuucapkan selamat bertugas. Sebenarnya aku masih menunggu Hamdani, teman satu posko yang belum kelihatan batang hidungnya. Melalui SMS dia mengabarkan masih dalam perjalanan. Kami putuskan untuk meninggalkannya dan menunggu di posko saja.
Dalam perjalanan ke desa yang kami tuju, aku dan keempat temanku masih menumpang mobil carteran dari kampus. Sedangkan Pak Kades membawa mobil sendiri berada di depan, bertindak sebagai penunjuk jalan. Di kantor bupati tadi aku sempat berkenalan dengan Pak Kades. Cukup jelas tulisan yang tertera di lencana bagian atas saku bajunya: Ahmad Mu’min. Dengan orang inilah nanti aku dan kelima temanku akan sering-sering berurusan selama KKN, pikirku saat itu.
Tak ada percakapan berarti dalam perjalanan tersebut. Gurat-gurat lelah dan penat tampak sekali terpancar di wajah keempat temanku. Bahkan, Farid memilih merebahkan diri di jok mobil paling belakang. Inza duduk di jok tengah di dekat jendela samping kanan. Aku menyebelahinya. Sedangkan kedua teman cewek yang lain memilih duduk berhimpitan di jok depan, di samping sopir.
Di tengah perjalanan, mobil Pak Kades sempat menepi berhenti sebentar. Ternyata dia menyambangi seorang penjual koran sembari menanyakan sesuatu yang dia cari. Setelah mendapatkan yang dimaksud, kamipun meneruskan perjalanan.
Setelah berbelok di pertigaan sebuah tugu yang terdapat patung ikan, suasana sudah mulai berubah. Jalan yang mulai menyempit dan sawah yang menghijau di kanan-kiri, serta suara gemericik air di saluran tepi jalan menjadi penanda bahwa kami sudah mulai jauh dari kota dan bergerak memasuki kawasan desa. Sebentar lagi sampai, batinku. Beberapa saat setelah itu, dari jendela mobil sebelah kiri kulihat suatu perkampungan yang secara geografis berada di bawah permukaan jalan. Mungkin itu desanya, tebakku waktu itu. Setelah mencari tempat yang pas untuk memutar mobil, pak sopir membawa kami melalui jalanan menurun. Dan benar saja, perkampungan yang kulihat itu adalah Desa Gunungtawang. Jalan menurun yang kami lewati menandakan bahwa daerah ini lebih rendah dari jalan besar tadi.
bersambung…