Kegagalan Penalti
***
Hari ini, tepat satu bulan yang lalu, Firman Utina gagal mengeksekusi penalti pada partai Final AFF Cup 2010. Meskipun demikian, marilah kita memaklumi dan menerimanya dengan legawa. Toh, pemain terbaik sejagat pun pernah pula mengalami kegagalan yang sama.
***
Ada satu hukum sepakbola yang tidak akan pernah berubah. Bahwa seorang penjaga gawang tidak akan pernah disalahkan meskipun gagal menahan tendangan penalti. Sebaliknya, hujatan dan makian sudah pasti akan diarahkan kepada si penendang, jika bidikannya tidak dapat menembus gawang. Dengan kata lain, hukum tersebut mengatakan: tendangan penalti 99 persen sudah pasti masuk ke gawang. Dan yang seperseratus persen lagi adalah bagian dari keberuntungan.
***
Cerita kegagalan tendangan penalti pertama kali saya dapatkan ketika menonton final Piala Dunia 1994 melalui layar kaca. Waktu itu umur saya masih tujuh tahun. Partai puncak helatan akbar di negeri Bill Clinton itu mempertemukan dua kutub utama sepakbola dunia: Italia versus Brasil. Kedua tim sama-sama mengantongi tiga gelar juara dunia. Deretan pemain top memenuhi skuad kedua negara. Siapa yang tak kenal “Si Bengal” Romario, “Si Penimang Bayi” Bebeto, dan “Si Rambut Kuncir Kuda” Roberto Baggio?
Nah, karena tak satupun gol tercipta dalam waktu normal dan perpanjangan waktu, akhirnya babak tos-tosan alias adu penalti harus dilakukan untuk menentukan siapa yang berhak menyandang gelar juara dunia untuk kali keempat. Hanya satu penendang yang akan diingat sepanjang massa: Roberto Baggio. Dialah sang penendang terakhir dalam partai itu. Sejarah akan selalu mengingatnya bukan karena kecemerlangannya sebagai bintang muda pada Piala Dunia 1990 di Italia empat tahun sebelumnya. Bukan pula predikatnya sebagai pemain terbaik dunia 1993. Namun karena kegagalannya menaklukkan Claudio Andre Taffarel, kiper Brasil waktu itu.
Tendangan Roberto Baggio sama sekali tidak digagalkan Taffarel. Bahkan Taffarel salah mengantisipasi arah bola. Namun, bola itu melambung jauh di atas mistar gawang. Dan Brasil pun akhirnya berhak membawa pulang trofi Piala Dunia, yang justru karya seniman asal Italia, Silvio Gazzaniga.
***
Mungkin perasaan Roberto Baggio dan Firman Utina sama. Mereka sudah pasti merasa bersalah. Barangkali ceritanya akan lain jika eksekusi penalti mereka menemui sasaran.
***
Lalu bagaimana dengan kisah tendangan penalti di negeri kita?
Ingatan saya tertuju di tahun 1997. Waktu itu Senayan menggelar hajatan akbar: Partai Final Sepakbola Sea Games, antara tuan rumah melawan musuh bebuyutan: Thailand. Sang juara akhirnya harus ditentukan lewat adu tendangan penalti. Dan, sejarah mencatat, kita kalah.
Lima tahun berselang, kita harus menghadapi lawan yang sama di Final Tiger Cup 2002. Lagi-lagi harus lewat adu tendangan penalti. Dan, lagi-lagi sejarah menorehkan tinta kekalahan kita atas Thailand. Meskipun kita mampu membalas lewat dua eksekusi penalti Bambang Pamungkas medio Desember kemarin.
***
Deretan kisah kegagalan penalti di atas semakin membuat saya yakin, bahwa sepakbola memiliki mekanisme tersendiri untuk menghakimi dua tim yang berlaga. Mekanisme tersebut setidaknya berbunyi: jika kemampuan terbaik sudah dikeluarkan, hanya keberuntunganlah yang pantas untuk dinanti.
***
Ngaliyan, 29 Januari 2011
*) Penulis adalah pengamat historiografi sepakbola.