Para Pencari Tuhan

***

Konon, sekembalinya dari menjalankan misi luar angkasa dan mencatatkan namanya sebagai manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan (jika memang cerita pendaratan manusia di bulan itu benar-benar terjadi), Neil Armstrong sempat disodori sebuah pertanyaan oleh wartawan. Tanya wartawan itu kurang lebih begini: “Apakah Anda menemukan Tuhan di sana?” (sebuah pertanyaan bernada sindiran).

Entah apakah jawaban yang dilontarkan oleh Neil Armstrong. Namun yang pasti, rasa penasaran orang-orang Barat terhadap eksistensi Tuhan sangat amat tinggi. Mereka, orang-orang Barat itu, yang menganggap kehidupan dunia ini hanyalah terdiri dari materi-materi yang dapat diindra, sulit untuk menerima paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Bisa jadi, rasa ingin tahu yang tinggi terhadap keberadaan sosok Tuhan-lah yang menjadi alasan bagi mereka untuk mengusahakan misi luar angkasa. Mungkin, mereka mengira dapat menemukan Tuhan di luar planet ini.

Jauh sebelum itu, Ibrahim telah memulai pencariannya terhadap Tuhan. Bapak Para Nabi ini tak segan-segan “menghamba” kepada bintang, bulan dan matahari untuk mengetes kualitas ketuhanan benda-benda angkasa itu. Ketika tak satupun pantas untuk disebut sebagai Tuhan, sependar cahaya kebenaran berupa ketauhidan hakiki dipercikkan ke mata hatinya. Dan akhirnya, beliau menemukan (karena memang beliau benar-benar mencari) bahwa hanya Allah-lah yang pantas disebut sebagai Tuhan yang layak disembah. Dan dikarenakan usaha pencarian dan pengorbanannya, Ibrahim diganjar dengan gelar “Kekasih Allah”, satu-satunya gelar yang tidak diberikan kepada manusia selainnya.

Di kolong langit lain, pada suatu hari, Siddhartha Gautama rela keluar dari istana dan meninggalkan statusnya sebagai anak raja demi mencari kesejatian hidup. Beliau menganggap bahwa istana, dengan segala hiruk pikuknya, tidak akan mampu menjadi tempat yang kondusif baginya untuk menemukan Tuhan. Pilihan untuk mengenyahkan dunia dari akal dan hati mampu membawanya kepada pencerahan. Dan akhirnya Sang Budha dari Kapilawastu itu mampu mengilhami generasi sesudahnya untuk menemukan pencerahan.

Di Pantai Utara Jawa, Lokajaya, seorang bromocorah dan berandalan yang sering menebarkan teror berupa perampokan dan tidak segan-segan membunuh orang, pada suatu hari bertemu dengan Sunan Bonang, bermaksud merampoknya. Dengan kerendahan hati dan kewaskitaan Sunan Bonang, si berandal tersebut akhirnya mengakui kehebatan Sunan Bonang dan menyadari kesalahannya selama ini. Singkat cerita, Lokajaya berguru kepada Sunan Bonang. Setelah dianggap telah cukup ilmu, Sunan Bonang memerintahkan Lokajaya untuk berdakwah dan memberinya gelar: Sunan Kalijaga. Ya, si berandal itu tak lain tak bukan adalah salah satu dari Walisongo yang tersohor itu.

Lalu, masih perlukah kita saat ini bersusah payah memperdebatkan Tuhan setelah para pendahulu kita juga sudah susah payah mencari-Nya?

Nah, daripada susah-susah dan pusing-pusing memikirkan eksistensi Tuhan, yang mana kajian tentang itu mungkin akan menjurus ke ranah metafisika dan domain tasawuf yang bisa semakin membuat kepala muter tujuh keliling, cukuplah bagi kita untuk mengimani bahwa Tuhan itu benar-benar ada dan bahwa alam ini sudah menjadi bukti akan adanya tangan-tangan yang menciptakan. Sebagaimana orang bijak mengatakan: jangan memikirkan zat-Nya, tapi renungilah ciptaan-Nya.

Toh, orang-orang yang meragukan adanya Tuhan sampai saat ini juga tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada.

***

Ngaliyan, 25 Desember 2010

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman