Presidenku yang Ternyata Kurang Pandai Berbahasa
***
Berawal dari kedatangan Barack Hussein Obama, “Si Anak Menteng” yang kini menjadi orang nomor satu di sebuah negara yang mengaku paling adidaya: Amerika Serikat, Selasa, 9 November 2010 lalu. Tentunya serangkaian seremonial kenegaraan harus digelar untuk menyambut “pulang kampung”-nya “Barry Soetoro”. Nah, sang shahibul bait, siapa lagi kalau bukan kolega Obama sesama presiden, orang nomor satu di negeri ini: Susilo Bambang Yudhoyono.
Presidenku ini, yang suka dipanggil SBY, setahuku adalah presiden Indonesia keempat yang mampu berbahasa Inggris setelah Bung Karno, Pak Habibie dan Gus Dur. Bung Karno, manusia tercerdas yang pernah dilahirkan negeri ini (kalimat ini penulis kutip dari Lintang dalam Laskar Pelangi), selain pandai berbahasa Inggris, beliau juga lancar berbahasa Belanda. Sedangkan Pak Habibie, pemegang beberapa hak paten dalam bidang teknik aerodinamika, selain mahir berbahasa Inggris, mahir pula cas-cis-cus bahasa Jerman. Dan Gus Dur, satu-satunya santri yang bisa menjadi presiden, selain bisa berbahasa Inggris, lughatul Arabiyah-nya juga memukau. Maklum, Gus Dur adalah lulusan Sastra Arab Universitas Baghdad.
Hanya Pak Harto dan Bu Mega yang tidak pandai berbahasa asing. Mungkin ini disebabkan oleh tingkat pendidikan formal yang mereka peroleh. Pak Harto, setelah menyelesaikan pendidikan dasar memutuskan untuk masuk dinas kemiliteran. Sedangkan Bu Mega, walaupun beliau adalah anak biologis dari Sang Proklamator, ijazah yang dimilikinya pun tak lebih dari ijazah SMA. Satu hal yang unik dari Pak Harto, meskipun beliau tidak bisa berbahasa Inggris beliau tetap menggunakan Bahasa Indonesia ketika ngobrol dengan kepala negara lain dalam berbagai forum internasional. Tentu saja dengan bantuan penerjemah kepercayaannya. Selidik punya selidik, ternyata Pak Harto ingin memosisikan Bahasa Indonesia setara dengan bahasa-bahasa internasional lain di dunia.
Kembali kepada presidenku saat ini. Dalam berbagai kesempatan saat konferensi pers maupun pidato kenegaraan, SBY kerap kali menggunakan istilah-istilah asing, dalam hal ini Bahasa Inggris. Kegemaran mengucapkan istilah-istilah dalam Bahasa Inggris di berbagai forum yang dipraktikkan oleh SBY pada akhirnya mengundang kritik tersendiri.
Beberapa waktu lalu, sebuah harian nasional memberitakan bahwa Pusat Bahasa akan melayangkan surat teguran kepada SBY dikarenakan seringnya menggunakan istilah asing. Pusat Bahasa menghimbau agar SBY mengikuti penyebutan istilah Inggris dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Sejauh pengamatan penulis, istilah-istilah asing yang digunakan SBY selama ini mempunyai padanan kata yang cukup familiar dalam bahasa Indonesia. Entah karena malas atau malah sok intelek, SBY memilih menggunakan istilah-istilah asing. Hal ini adalah kesalahan fatal seorang presiden. Sebagai seorang presiden, sudah seharusnya SBY menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam berbagai kesempatan. Hitung-hitung untuk memberikan pelajaran bagi rakyatnya sendiri. Menurut penulis, SBY seharusnya menyadari posisinya sebagai seorang pemimpin. Dan pemimpin, kata idiom Jawa, idune idu geni. Semua tutur katanya bisa menimbulkan efek yang tidak bisa dibilang sederhana.
Kegemaran SBY mengucapkan istilah-istilah asing itu pada akhirnya menjadi bumerang bagi beliau. Hal ini dapat disaksikan dalam sesi konferensi pers dengan media massa di Istana Negara dalam acara penyambutan kedatangan Obama, yang diliput tidak hanya oleh wartawan domestik, namun juga oleh kuli tinta mancanegara.
Ketika itu seorang wartawati asing mengajukan pertanyaan kepada kedua kepala negara dengan bahasa Inggris. Sejurus kemudian Obama langsung menanggapi dengan lugas pertanyaan tersebut. Bahkan Obama juga dapat menangkap maksud dari pertanyaan berbahasa Indonesia dan langsung menjawab dengan tangkas. Nah, ketika Obama sedang menjawab pertanyaan tersebut, SBY memanggil Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri, untuk mendekat. Dan ternyata beliau meminta bantuan Menlu-nya untuk menjelaskan maksud dari pertanyaan wartawati asing tersebut. Namun, ketika SBY mendapat giliran menjawab, beberapa saat tidak ada yang keluar dari mulut beliau. Dan ternyata setelah ditunggu yang keluar malah sebuah pertanyaan balik kepada si wartawati, “Could you repeat your question?” (“Dapatkah Anda mengulangi pertanyaan Anda tadi?”). Beliau sempat mengulangi kata “could” dan terlihat gagap ketika mengucapkannya. Suatu hal yang cukup menggelikan (atau justru sebuah ironi?).
Padahal sebelum sesi tanya jawab, SBY dalam keterangan pers-nya sesudah pertemuan bilateral dengan Obama, berpidato dengan sesekali menyelipkan istilah-istilah Inggris seperti kebiasaannya selama ini. Dan, sekali lagi SBY mengulangi kesalahan fatalnya: tidak menyertakan terjemahan Indonesia-nya. Penulis sendiri, dan mungkin juga pengamat yang lain, cukup geleng-geleng kepala dan mengelus dada (tentunya dadanya sendiri), melihat “kelakuan” Presiden SBY tersebut.
Peristiwa di atas dapat dijadikan renungan bagi kita, sudah sejauh manakah bangsa ini memahami dengan benar makna butir ketiga Sumpah Pemuda yang baru beberapa hari lalu diperingati: “KAMI, PUTRA DAN PUTRI INDONESIA, MENJUNJUNG TINGGI BAHASA PERSATUAN: BAHASA INDONESIA”.
Akhirnya, bagaimanapun juga SBY adalah presidenku, yang ternyata kurang pandai berbahasa.
***
Ngaliyan, 12 November 2010
*) Penulis adalah pengamat komunikasi politik amatiran.