Sebuah Cincin
***
Semasa hidupnya, kakek adalah orang yang mengutamakan kesederhanaan dan kebersahajaan. Hal ini tampak dari pakaian yang dikenakannya sehari-hari. Kakek tidak pernah mengenakan pakaian yang bagus dan mahal. Malahan sebaliknya, kakek lebih sering menggunakan pakaian yang sudah lusuh, karena dipakai berulang kali. Padahal secara materi, kakek adalah seseorang yang serba berkecukupan. Terlebih lagi, kakek adalah salah satu orang dermawan di kampungnya.
***
Suatu hari aku memberanikan diri untuk menanyakan kepadanya perihal itu.
“Kek, mengapa Kakek tidak mau memakai baju-baju yang bagus dan mahal? Mengapa sehari-hari Kakek hanya berpakaian seadanya seperti itu? Padahal Kakek adalah orang kaya di desa ini, kan?”
Tidak tampak ekspresi kaget di wajah kakek ketika mendengar pertanyaanku. Dengan seulas senyum, sambil mengelus kepalaku yang ketika itu aku masih berumur sebelas tahun, kakek mengeluarkan sebuah cincin dari dompetnya, dan memberikannya kepadaku.
“Apa maksudnya Kakek memberikan cincin yang jelek ini kepadaku?” tanyaku terheran-heran.
Sepintas, cincin itu memang jelek. Tidak ada yang menarik dengan cincin kakek. Selain warna kuning yang sudah tidak begitu jelas, ditambah bentuk yang sudah penyok di sana-sini, cincin itu juga tampak kotor sekali. Orang lain pun tidak akan tertarik dengan cincin itu.
Belum reda keherananku, perintah kakek kepadaku pun tak kalah membingungkan.
“Bawalah cincin ini ke pasar desa! Tawarkanlah kepada orang dengan harga dua puluh ribu rupiah! Ingat, dua puluh ribu rupiah. Tidak lebih tidak kurang.”
Meskipun masih menyimpan sejuta pertanyaan di dalam hati tentang perintah kakek, aku tetap berangkat ke pasar desa. Di sana, kepada setiap orang yang kujumpai, kutawarkan cincin itu. Sesuai dengan perintah kakek, kuhargai cincin itu dua puluh ribu rupiah. Tak lebih, kurang pun tak jua.
Anehnya, seharian aku menawarkan cincin itu, tak pula aku mendapatkan seorang pun yang mau membeli. Bahkan, tak jarang, umpatan dan makian dialamatkan kepadaku, karena menjual sebuah barang yang tak berharga.
“Apa kamu bilang? Barang seperti ini kau sebut cincin? Mana ada yang percaya. Apalagi dengan harga dua puluh ribu rupiah. Apa kau kira kami sudah gila mau membeli barang tak berguna seperti itu?” begitulah ucapan yang sering masuk ke telingaku, ketika aku mencoba menawarkan kepada seseorang.
Karena hari sudah sore, aku memutuskan pulang ke rumah kakek. Setibanya di rumah, kuceritakan semua peristiwa yang kualami. Termasuk umpatan orang-orang tentang cincin jelek milik kakek.
Seperti biasanya, tak tampak raut kaget sedikitpun di wajah kakek. Malahan kakek menyuruhku untuk istirahat.
***
Keesokan harinya, selesai sarapan, kakek menyuruhku mendatangi seorang tukang emas di kampung sebelah. Dan, masih dengan perintah yang sama dengan kemarin, kakek menyuruhku menjual cincinnya dengan harga dua puluh ribu rupiah. Tidak lebih tidak kurang.
Segera kukayuh sepeda menuju desa sebelah yang hanya dipisahkan sebuah sungai dari desa kami. Setelah melewati sebuah jembatan, dan berbelok ke utara di sebuah perempatan, aku tiba di rumah seorang tukang emas satu-satunya di desa ini.
Kukatakan bahwa aku bermaksud menjual cincin. Setelah kuperlihatkan kepadanya dan ditelitinya dengan saksama cincin itu, si tukang emas bertanya, “Berapa kau jual cincin ini?”
Kujawab mantap, “Dua puluh ribu rupiah.”
Si tukang emas kaget bukan kepalang. “Apa? Sudah gila kau? Tak tahukah kau, cincin ini harga sebenarnya adalah dua juta rupiah!”
“Apa? Dua juta rupiah? Berarti cincin ini berharga seratus kali lipat dari harga semula?” Tak kalah kaget dengan si tukang emas, aku seakan tak percaya dengan perkataannya. Kukira dia bercanda dengan ucapannya.
“Bagaimana? Masih mau menjual kepadaku dengan harga dua puluh ribu rupiah?” tanya si tukang emas.
“Oh, tidak. Tidak jadi kujual,” jawabku.
Aku pun pulang.
Dalam perjalanan pulang, sejumlah pertanyaan menggelayut dalam benakku. Kalau cincin itu sebenarnya berharga dua juta rupiah, mengapa kakek menyuruhku untuk menjual hanya seharga dua puluh ribu rupiah? Lalu mengapa pula tidak ada yang mau membeli cincin ini ketika tempo hari kutawarkan di pasar desa, padahal cincin ini sangat berharga? Dan mengapa si tukang emas menghargai seratus kali lipat dari harga semula? Apa maksud semua ini?
***
Setibanya di rumah, segera kutumpahkan rasa penasaran ketika menemui kakek. Kuceritakan pertemuanku dengan si tukang emas dengan rinci dan lengkap. Kuajukan pula pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak kutemukan jawabannya.
Kali ini aku bersiap mendengar penjelasan panjang lebar dari kakek. Dan kakek pun memulai penjelasannya. Pelan tapi pasti kudengar dengan saksama.
“Cucuku, tukang emas itu tahu dan paham, kalau cincin ini terbuat dari emas dengan kualitas tinggi. Kau lihat batu permata di tengah cincin ini? Itu batu permata dengan kualitas yang tinggi pula.”
Batu permata? Oh, ternyata, karena saking kotornya cincin itu, batu permata yang letaknya persis di tengah dan menyatu dengan lingkaran cincin itu tidak dapat terlihat dengan jelas.
“Sekarang coba kau ingat kembali bagaimana reaksi orang-orang di pasar, ketika kau menawari cincin ini. Karena mereka tidak paham dan tidak tahu ilmu tentang perhiasan, mereka menganggap cincin jelek ini tidak ada harganya. Itu karena mereka hanya melihat luarnya saja. Tidak demikian dengan si tukang emas. Dia adalah orang yang mengetahui ilmu tentang perhiasan, sehingga dengan peralatan dan ilmu yang dimilikinya, dia bisa menakar harga cincin ini yang sebenarnya.”
Kakek meneruskan penjelasannya.
“Nah, sekarang kau tahu perbedaan antara orang yang memahami hakekat tentang sesuatu, dengan orang yang sama sekali tidak mengetahui bahkan tidak mau tahu tentang hakekat sesuatu. Seseorang yang mengetahui hakekat dan seluk beluk tentang sesuatu, entah apapun itu, pasti orang itu dapat menempatkan sesuatu itu pada tempatnya. Dengan kata lain, orang itu tidak akan berkata sembarangan dan seenaknya sendiri tentang sesuatu itu. Selain itu, orang yang berilmu dapat membedakan mana yang baik dan buruk, tanpa tertipu oleh penampilan luar dari sesuatu itu. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu, akan selalu menganggap bahwa baik dan buruk itu selalu ditentukan dari apa yang tampak dari luar. Cucuku, ketahuilah olehmu, bahwa ada pepatah dari negeri seberang yang mengatakan: don’t judge a book by the cover. Kurang lebih maknanya, jangan menilai sesuatu dari luarnya saja. Semoga saja hal ini dapat menjawab pertanyaanmu padaku tempo hari.”
***
Ngaliyan, 31 Januari 2011
*) Kisah ini saya peroleh ketika mendengarkan sebuah siaran radio di rumah, sekitar akhir Desember tahun lalu. Tulisan ini merupakan reka ulang dari kisah tersebut dengan sedikit modifikasi tanpa mengurangi pesan moralnya.