Seorang Pemecah Karang
***
Suatu hari, di tepi pantai, terdapat seorang pemuda yang sedang memecah karang. Itulah pekerjaan sehari-hari pemuda itu. Sejak ditinggal pergi untuk selamanya oleh ayahnya, si pemuda itu menjadi tulang punggung keluarga. Bersama ibu dan kedua adiknya yang masih kecil, pemuda itu kini menggantungkan hidupnya pada pekerjaan yang kini digelutinya: memecah karang.
***
Dengan bermodal sebuah kapak khusus untuk memecah karang, si pemuda memulai pekerjaannya. Tak kenal lelah dia bekerja. Ketika sedang melakukan pekerjaannya itulah, dari jauh terlihat rombongan iring-iringan putra raja melintas. Seketika dia menghentikan ayunan kapaknya, dan melihat iring-iringan itu. Dalam hati dia berkata, “Andai aku seorang putra raja. Hidupku pasti tidak akan susah seperti ini. Ingin apa tinggal tunjuk. Semua keinginanku pasti bisa terpenuhi.”
Tiba-tiba saja ucapannya tersebut menjadi kenyataan. Seketika pemuda itu berubah menjadi putra raja. Si pemuda kini berada di tengah iring-iringan. Duduk di atas tandu yang diangkat oleh empat orang yang kuat-kuat.
Si pemuda yang kini telah menjadi putra raja, kini memiliki kegemaran baru. Sang pangeran suka sekali mengadakan iring-iringan untuk melihat-lihat wilayah kerajaannya.
Dari atas tandunya, dia selalu dielu-elukan oleh rakyatnya yang berkumpul sepanjang jalan yang dilaluinya. Tampak sekali sang pangeran menikmatinya. Namun, ada satu hal yang sangat mengganggu sang pangeran. Cuaca yang sangat panas. “Ah, panas sekali cuaca kali ini. Matahari sangat terik membuatku tidak nyaman berada di atas tandu seperti ini,” gerutu sang pangeran.
Karena saking panasnya sinar mentari, orang-orang yang tadinya bermaksud menonton iring-iringan, akhirnya membubarkan diri. Sang pangeran mengeluhkan matahari yang bersinar terik. “Andai saja aku ini matahari. Aku bisa mengalahkan apa saja dengan panasku. Aku bisa membakar kulit manusia.”
Dan ucapannya benar-benar menjadi kenyataan. Seketika dia berubah menjadi matahari. Dengan panas yang dimiliki, pemuda yang kini menjadi sang surya itu mampu membakar kulit manusia. Bahkan dia suka sekali melihat manusia mencari tempat berteduh menghindari sinarnya.
Ketika sang surya sedang enak-enaknya memancarkan panas ke segenap penjuru mayapada, datanglah sebuah awan. Awan itu menghalangi sinar mentari sampai ke bumi. Sehingga daerah yang dinaungi awan akan terasa sejuk. “Kurang ajar, berani-beraninya si awan menghalangi sinarku. Ah, andai saja aku jadi awan. Aku pasti akan disukai manusia karena dapat mendatangkan kesejukan di tengah teriknya matahari.”
Dan lagi-lagi ucapannya menjadi kenyataan. Seketika dia berubah menjadi awan. Kini, si pemuda itu menjadi awan. Dia mampu mendatangkan kesejukan bagi manusia. Bahkan, tak jarang si awan membagi-bagikan air hujan ke daerah-daerah yang membutuhkan.
Ketika si awan sedang senang-senangnya melakukan pekerjaannya, tiba-tiba saja datang angin yang sangat besar. Seketika si awan kaget. Karena tubuhnya yang lemah, akhirnya si awan itu terbawa ke sana-kemari akibat tiupan angin. Si awan pun mengumpat, “Sial! Enak saja angin mengusik kenyamananku. Ah, andai saja aku jadi angin. Akan kubuat berantakan semua yang kulalui.”
Seketika ucapannya menjadi kenyataan. Kini, si pemuda itu menjadi angin. Dengan bebasnya dia bisa bergerak ke sana-kemari. Tak jarang, dia memanfaatkan kecepatan dan kekuatannya untuk merusak. Tak hanya awan yang sering diusirnya, pohon-pohon dan rumah-rumah penduduk pun tak jarang menjadi sasaran si angin. Akibatnya, banyak pohon tumbang dan perkampungan penduduk banyak yang porak-poranda karena tiupan angin kencang.
Tak puas sampai di situ, si angin bertiup ke arah laut. Dengan kekuatan dan kecepatannya, angin mampu membuat air laut yang tenang itu bisa menjadi bergulung-gulung, menghantam apa saja yang dilaluinya. Sering sekali para nelayan menjadi korban karena perahu mereka terbalik akibat ombak yang sangat besar.
Si angin semakin sombong. Dia menantang apa saja yang bisa menghalangi geraknya. Ketika dia melihat sebuah batu karang, dia langsung meluncur, menghantam batu karang. Namun, batu karang itu tak seperti dugaannya. Tak sedikitpun batu karang itu bergeser dari tempatnya. Dengan mengambil ancang-ancang dan mengumpulkan kekuatan serta mengeluarkan kecepatan tertingginya, si angin tetap tidak mampu merobohkan batu karang. Akhirnya dia menyerah. “Ah, kuat sekali batu karang ini. Andai saja aku jadi batu karang. Aku pasti mampu bertahan dari serangan apapun.”
Lagi-lagi ucapannya langsung terwujud. Sekarang dia berubah menjadi bongkahan besar batu karang. Si batu karang merasa memiliki kekuatan yang lebih. Pasalnya, dia mampu menahan serangan ombak yang tinggi dan angin yang kencang. “Hahaha. Kalian tidak akan mampu mengalahkanku. Aku ini si batu karang yang sangat kuat. Tidak ada yang bisa menghancurkanku,” kata si batu karang.
***
Suatu hari, ketika si batu karang sedang bangga-bangganya menyombongkan kekuatan dirinya, tiba-tiba saja dari arah bawah, terdengar suara: “dug… dug… dug…”. Suara itu terdengar berkali-kali. Si batu karang kaget melihat ada seorang pemecah karang berkali-kali mengayunkan kapak ke tubuhnya. “Kurang ajar sekali orang itu. Angin dan ombak besar saja tak mampu menghancurkanku, tapi dengan kapaknya dia mampu melakukannya. Ah, andai saja aku seorang pemecah karang.”
***
Pada akhirnya, si pemuda itu menyadari bahwa manusia tidak akan pernah merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. Meskipun semua keinginannya dapat terpenuhi, manusia senantiasa akan merasa kekurangan, merasa tidak puas dengan keadaannya saat ini. Dan, ketika manusia bernafsu untuk meraih hasrat tertingginya, ketika itu pulalah manusia akan menyadari, bahwa suatu saat nanti pasti dia akan kembali ke tempatnya semula.
***
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
(Jangan Menyerah d’Masiv)
***
Ngaliyan, 1 Februari 2011
*) Kisah ini saya peroleh dari sebuah buku kumpulan cerita inspiratif pada tahun 2007. Kesimpulan dan lirik lagu di bagian akhir adalah tambahan saya sendiri. Sampai saat ini saya masih mengingat kisah tersebut dengan baik. Saya suka sekali menceritakannya kepada anak-anak dalam beberapa kesempatan. Tulisan ini saya maksudkan untuk “mengikat” kisah tersebut agar tidak lekang oleh waktu.
n.b. Seiring waktu, saya baru mengetahui bahwa kisah ini ternyata bersumber dari buku yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "buku yang membunuh kolonialisme", Max Havelaar, tulisan Eduard Douwes Dekker, bernama pena Multatuli. Pertama kali diterbitkan di Belanda tahun 1860.
n.b. Seiring waktu, saya baru mengetahui bahwa kisah ini ternyata bersumber dari buku yang oleh Pramoedya Ananta Toer disebut sebagai "buku yang membunuh kolonialisme", Max Havelaar, tulisan Eduard Douwes Dekker, bernama pena Multatuli. Pertama kali diterbitkan di Belanda tahun 1860.