Tentang Seekor Burung yang Patah Sayapnya Sebelum Belajar Terbang
***
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar DIPELIHARA oleh negara.”
***
“Paring-paring, Om. Paring-paring, Om.” Kutengok sumber suara. Seorang anak kecil yang kutaksir umurnya tak lebih dari 10 tahun tampak menengadahkan tangan ke arahku. Dengan bertelanjang kaki, mengenakan kaus yang sudah lusuh dan celana pendek, anak itu berkeliling ke setiap pengendara yang berhenti di lampu merah. Dia tak sendiri. Beberapa temannya juga melakukan hal serupa. Jika lampu hijau, mereka menepi, berkumpul di pulau jalan dekat lampu merah.
***
Sudah tak terhitung berapa kali aku melihat pemandangan seperti itu. Celakanya, masih ada ratusan lampu merah di kotaku ini. Lebih celaka lagi, masih ada ratusan kota di negeriku ini. Entah, masih ada berapa jutakah anak seperti itu di negeri ini. Sebuah potret ketidakpedulian negara terhadap orang miskin dan anak terlantar. Sebuah bentuk pengkhianatan negara terhadap undang-undang yang dibuatnya sendiri: Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) yang saya kutip di awal tulisan. Sebuah undang-undang yang sudah empat kali diamandemen, namun dikhianati berkali-kali oleh para pembuatnya sendiri.
Bayangkanlah bahwa anak di lampu merah itu adalah seekor burung. Lalu, apa jadinya jika seekor burung patah sayapnya sebelum belajar terbang? Tentu si burung tidak akan bisa terbang. Dan jika terbang pun tidak mampu, bagaimana dia bisa melihat kehidupan di luar dirinya? Bagaimana dia bisa mencari makanan untuk terus hidup mempertahankan eksistensinya?
Pada akhirnya, si burung yang tidak bisa terbang itu, tidak akan disebut burung.
***
Sekarang saya mengerti, mengapa negara menggunakan kata “DIPELIHARA” pada pasal 34 ayat (1) di atas. Itu artinya, negara tidak akan mengentaskan mereka dari kemiskinan dan keterlantaran. Sebaliknya, negara sengaja “MEMELIHARA” keberadaan para fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di jalan, agar mereka tetap hidup menggelandang sebagai peminta-minta.
***
Ngaliyan, Februari 2011
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial.