Tiga Wasiat Ayah

***

Sebelum meninggal, ayah berwasiat kepada kami, kedua anaknya, dengan tiga hal. Kami harus melakukan tiga hal tersebut jika ingin meraih kekayaan di dunia, begitu pesan ayah. Ayah tidak meninggalkan warisan sedikitpun berupa harta benda. Dalam surat wasiatnya, yang dibuat di hadapan notaris, ayah menyumbangkan seluruh kekayaan yang dimilikinya ke sebuah lembaga amal yang mengurusi anak-anak yatim dan kaum papa.

Tiga wasiat ayah itu adalah:
1.      Dalam sehari, makanlah seratus ekor ikan.
2.      Ketika bekerja, jagalah kulitmu, jangan sampai terkena sinar matahari.
3.      Kalau meminjami uang kepada orang lain, jangan pernah menagihnya.

Kami berdua cukup kaget dengan wasiat yang cukup membingungkan seperti itu. Kami yakin, kata-kata ayah tersebut bersayap. Sebelum kami sempat menanyakan maksud pesan itu, ayah telah pergi ke haribaan Sang Khalik.

Setelah menguburkan jenazah ayah, kami berdua berpisah. Merantau. Mencari penghidupan masing-masing.

Selang waktu yang cukup lama, kami berdua akhirnya dipertemukan oleh takdir. Tak terasa sudah sepuluh tahun kami berpisah sejak kematian ayah. Untuk mengenang masa lalu dan melepas kangen, kuajak kakakku berkunjung ke rumahku.

Kakakku sangat senang melihat keadaanku sekarang.

“Sudah sukses rupanya kau sekarang. Rumah besar, mobil mewah, perabot rumah yang lengkap, pembantu yang setia, istri cantik. Bahkan tak satupun yang kurang pada hidupmu. Rasanya dunia ini sudah berada dalam genggamanmu,” begitu katanya ketika memasuki rumahku.

Sambil mempersilahkan duduk, aku menjawab, “Ini semua berkat tiga wasiat ayah dulu. Aku benar-benar melaksanakannya. Apakah kau masih ingat?”

“Tiga wasiat ayah? Tentu. Aku masih ingat. Tapi mengapa nasib kita berbeda? Akupun sejak berpisah denganmu juga melaksanakan pesan ayah itu. Tapi apa yang kudapat sekarang? Hidup susah, hutang menumpuk, rumah belum punya. Bisa dibilang hidupku serba kekurangan,” kakakku menimpali pertanyaanku tadi.

Aku kaget mendengar jawaban barusan. Benarkah yang dikatakan kakakku? Mengapa nasib kami berbeda seratus delapan puluh derajat? Padahal kami berdua sama-sama melaksanakan pesan terakhir ayah. Bukankah ayah sendiri yang mengatakan bahwa jika ingin meraih kekayaan dunia, kami harus melaksanakan wasiatnya.

Kusuruh kakakku menceritakan apa yang dilakukannya sepeninggal kami berpisah.

Kakakku pun mulai bercerita.

“Sesuai dengan pesan ayah yang pertama, setiap hari aku makan seratus ekor ikan. Pagi, siang, malam, hanyalah ikan menu utama bagiku. Karena saking banyaknya ikan yang harus kuhabiskan dalam sehari, tak jarang aku mengajak orang lain untuk berpesta makan ikan, demi melaksanakan wasiat ayah. Kemudian, untuk melaksanakan wasiat ayah yang kedua, aku membuat bangunan seperti payung yang dapat melindungi kulitku dari sengatan sinar matahari. Dari depan rumahku hingga tempat kerja, aku membangun payung. Tentu dibutuhkan biaya yang besar untuk membangunnya. Padahal aku sering berpindah-pindah tempat kerja. Sehingga aku harus membangun payung-payung baru. Tentang pesan terakhir ayah, setiap ada orang yang meminjam uangku, aku tak pernah sekalipun menagihnya. Bahkan walaupun sudah bertahun-tahun mereka tidak melunasi hutang-hutangnya. Begitulah aku melaksanakan wasiat ayah. Setelah kurenungi, ternyata tiga hal yang kulakukan itu malah membuatku jatuh miskin, karena menguras uang yang sangat banyak.”

Sontak aku kaget mendengar penuturan kakakku. Dalam hati aku berkata, “Pantas saja kau jatuh miskin.” Setelah menghela nafas, kukatakan kepadanya, “Aku tahu yang menyebabkan nasib kita berbeda, padahal kita melakukan satu pesan yang sama.”

“Apa yang membedakannya?” kakakku tak sabar melontarkan pertanyaan.

“Penafsiran. Ya, aku menafsirkan tiga wasiat ayah,” jawabku.

Kemudian kuceritakan perjalanan hidupku selama ini sehingga aku bisa meraih kekayaan dunia seperti ini.

“Ayah menyuruh kita untuk makan seratus ekor ikan tiap hari. Aku memang setiap hari hanya makan seratus ekor ikan. Ikan teri nasi. Ya, ikan teri yang besarnya memang hanya seukuran nasi. Walaupun seratus ekor pun tak akan menguras kantong kita. Hal ini berarti ayah mengajari kita untuk hidup hemat. Kemudian, aku berangkat kerja pagi-pagi sekali. Sebelum matahari terbit aku sudah sampai di tempatku bekerja. Dan akupun pulang setelah matahari terbenam. Itulah maksud ayah bahwa kalau bekerja jangan sampai kulit kita terkena sinar matahari. Melalui wasiat kedua, ayah ingin agar kita bekerja keras siang malam. Pesan terakhir ayah, bahwa jangan pernah menagih utang orang lain kepada kita, aku menafsirkannya dengan sedekah. Ayah menyuruh kita untuk bersedekah kepada kaum yang lebih membutuhkan dari kita. Aku yakin, melalui tiga wasiatnya, ayah bermaksud mengajari kita tentang pentingnya melakukan lara lapa tapa brata untuk mencapai kemakmuran. Rela menderita saat ini demi kebahagiaan di kemudian hari.”

***

Ngaliyan, 10 Januari 2011

*) Tulisan ini saya sarikan dengan sedikit modifikasi, dari sebuah acara teatrikal yang diperankan oleh Butet Kertarejasa di sebuah stasiun TV nasional sekitar pertengahan 2009.

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman