Tuhan dan Toilet

***

Suatu hari ketika saya sedang berada di sebuah toko buku, karena sudah masuk waktu Maghrib, saya bermaksud mendirikan shalat. Seketika saya melangkahkan kaki menuju tempat yang memang dikhususkan sebagai mushalla. Letak mushalla itu berada di lantai bawah, tepatnya di pojok belakang bangunan toko buku tersebut. Dan, ini yang menarik, mushalla itu terletak di sebelah toilet. Ya, di sebelah toilet. Jadi, ketika ada seseorang sedang shalat di mushalla itu, di ruang sebelahnya ada orang lain pula yang sedang “membuang hajat”.

***

Di waktu lain, di sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai, suatu hari saya menemani seorang teman untuk mencari perangkat komputer. Tak terasa jarum jam sudah menunjuk angka enam. Kami memutuskan untuk pulang. Namun sebelum pulang kami memilih untuk Maghrib-an dulu. Karena tidak tahu di mana letak mushalla, saya menyambangi seorang satpam dan menanyakan tempat yang dimaksud. Sambil mengarahkan telunjuknya ke sebuah arah, pak satpam itu berkata, “Di sebelah toilet.” Kami bergegas melangkah ke sana. Dan memang benar kata satpam tadi. Antara toilet dan mushalla itu terletak bersebelahan.

***

Akhir bulan November 2010 kemarin saya dan seorang teman mendapatkan undangan resepsi pernikahan di Pati. Karena kami pulang ketika hari sudah gelap, kami memutuskan berhenti di sebuah SPBU untuk istirahat dan shalat Maghrib terlebih dahulu. Setelah mengisi bensin, kami langsung menuju ke sebuah bangunan yang berada di sudut SPBU itu. Biasanya memang di setiap SPBU ada fasilitas umum seperti mushalla dan toilet. Dan, seperti yang lainnya, mushalla dan toilet di SPBU tadi juga berdampingan letaknya.

***

Bagaimana? Sudahkah pembaca menangkap makna dari ketiga cerita saya di atas? Mungkin pembaca bisa memberikan contoh lebih banyak lagi.

Entah sebuah kesengajaan atau tidak, menempatkan mushalla di sebelah toilet. Atau untuk sekedar memudahkan saja. Karena memang pada umumnya, orang-orang yang hendak mendirikan shalat, biasanya terlebih dahulu “membuang” hajatnya, dengan harapan ibadah yang akan dilakukannya nanti tidak terganggu. Dengan kata lain, pertimbangan kepraktisan-lah yang mengilhami penempatan mushalla di sebelah toilet.

Atau memang seperti itukah representasi watak masyarakat kita? Yang “tega” menempatkan “rumah Tuhan” di sebelah “tempat buang hajat”. Seperti itukah penghormatan manusia kepada “rumah Tuhan”nya? Ataukah masyarakat kita memang sengaja mengesampingkan Tuhan dengan menempatkannya sebagai “konco wingking” belaka.

Kesimpulannya, jika Anda sedang bepergian di tempat umum dan waktu shalat sudah tiba, segeralah mencari toilet!

***

Ngaliyan, Desember 2010

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman