Unity in Diversity
***
Jika ditanyakan pada kita, berapakah jumlah suku di negeri ini? Entah berapa dari kita yang mampu menjawabnya dengan tepat. Karena memang jumlah suku di Indonesia sangat banyak. Ratusan. Itulah mengapa tidak ada istilah suku bangsa asli Indonesia, layaknya Aborigin di Australia, Indian di Amerika Utara, Ainu di Jepang dan Nubia di Mesir. Dan dengan keragaman inilah mungkin yang mengilhami para pendiri bangsa (founding fathers) untuk menggunakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negeri ini. Istilah Inggrisnya: unity in diversity. Kesatuan dalam keanekaragaman.
Ratusan suku bangsa yang tersebar di 17.000-an pulau ini memiliki nama dan karakteristik yang berbeda-beda. Dan uniknya, nama masing-masing suku tersebut menunjukkan karakteristik daerahnya masing-masing. Jadi, kita bisa tahu watak seseorang cukup melihat dari suku mana dia berasal. Tidak percaya? Mari lanjutkan membaca.
Dimulai dari daerah yang paling barat. Di bagian utara Andalas berdiam suku Batak. Kenapa dinamai Batak? Konon Batak adalah singkatan dari “banyak taktik”. Cukup masuk akal juga. Karena jika saat ini kita menyebut sederetan nama lawyer (pengacara) kondang, maka hampir sebagian besar adalah orang Batak. Dan, pengacara itu memang “banyak taktik”.
Bergeser sedikit ke Sumatera Barat. Di daerah asal Tuanku Imam Bonjol itu terdapat Kota Padang. Menyebut Padang, ingatan kita pasti selain tertuju ke Jam Gadang yang tersohor itu, juga ada Rumah Makan Padang. Ya, orang Padang memang “pandai dagang”. Jaringan Rumah Makan Padang hampir merata di seluruh kota di Indonesia. Baik yang menggunakan sistem waralaba (franchise) maupun perorangan.
Kemudian menyeberangi Selat Sunda kita menuju Daerah Khusus Ibukota. Suku Betawi yang mendiami kawasan ibukota Jakarta menyimpan sejarah yang begitu panjang. Mungkin cerita sejarah tentang Betawi sudah dimulai jauh sebelum pendaratan VOC pertama kali di Nusantara pada abad 17. Rata-rata orang Betawi itu “betah tinggal di wilayahnya sendiri”. Mereka enggan merantau karena mereka merasa sudah menjadi warga dunia dengan menjadi penduduk Jakarta.
Masih di bagian barat pulau Jawa. Di Provinsi Banten dan Jawa Barat terdapat orang Sunda. Sebuah suku yang mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di Indonesia. Banyak orang yang mengatakan bahwa orang Sunda itu “suka daun muda”. Tapi jangan berpikir yang negatif dulu. Maksudnya “suka daun muda” adalah bahwa orang Sunda itu, kalau makan kurang klop kalau tidak dengan lalapan.
Berpindah sedikit ke timur. Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur merupakan daerah yang mayoritas dihuni oleh suku Jawa. Nah, entah benar entah tidak, orang Jawa mempunyai patron tersendiri tentang harga diri. Oleh karena itu, istilah “jaga wibawa” sering disifatkan kepada orang-orang yang berasal dari ketiga daerah tersebut. Sebenarnya kalau menilik sejarah masa lampau, ada benarnya juga. Dalam sejarahnya, para bangsawan Jawa zaman dulu berada dalam sistem feodalistik ciptaan kolonial, yang notabene bertujuan untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga. Dan ternyata, mental-mental feodal itu masih tertanam hingga kini.
Dari Pulau Jawa kita menyeberangi Laut Jawa ke arah utara dan sampai di daratan Borneo, nama lain dari Kalimantan. Satu pulau yang didiami tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Fakta membuktikan bahwa di pulau ini banyak sekali sungai-sungai besar, seperti: Kapuas, Barito, Mahakam. Selain sebagai sarana transportasi utama, sungai-sungai tersebut juga berfungsi sebagai sumber mata pencaharian penduduk setempat. Pernah dengar cerita tentang Pasar Apung. Ya, di Pasar Apung-lah roda perekonomian penduduk setempat berputar setiap harinya. Dan, rasanya tidak salah jika Kalimantan diartikan sebagai “kali (sungai) yang banyak muatan”.
Kemudian setelah menyeberangi Selat Makassar ke arah timur, kita akan sampai di Pulau Sulawesi. Di ujung selatan pulau ini terdapat provinsi Sulawesi Selatan yang beribukotakan Makassar, daerah yang dulu bernama Ujung Pandang. Lantas kira-kira kepanjangan dari Makassar apa ya? “Manusianya kasar-kasar”. Maksudnya? Begini ceritanya. Kalau ada berita di media massa tentang unjuk rasa mahasiswa di Makassar sering sekali ricuh dan berakhir bentrok dengan aparat. Nah, hal itu menunjukkan bahwa watak mereka memang keras dan kadang menjurus kasar. Meskipun demikian, banyak juga tokoh nasional yang berasal dari Sulawesi Selatan. Sebut saja Bacharuddin Jusuf Habibie, mantan Presiden RI, dan, last but not least, Jusuf Kalla, mantan wapres yang kini menjabat Ketua PMI.
Akhirnya, melengkapi perjalanan kita keliling Nusantara, tak lengkap rasanya jika tidak menyambangi wilayah paling timur: Papua. Daerah yang belum lama ini ditimpa tragedi banjir bandang di Wasior, yang merenggut seratusan korban jiwa. Tidak bisa dipungkiri bahwa status Daerah Otonomi Khusus, dengan gelontoran anggaran yang juga tidak bisa dibilang sedikit, masih belum mampu mengeluarkan Papua dari julukan daerah tertinggal. Konon katanya, di sana masih banyak penduduk yang tetap kekeuh mempertahankan koteka sebagai pakaian sehari-harinya. Karenanya, tidak berlebihan jika Papua diartikan sebagai “pakaian pun tak punya”.
***
Eksplanasi di atas hanyalah sudut pandang subyektif dari penulis. Agak ngawur dan bisa saja salah. Memang masih banyak suku dan daerah, yang dikarenakan keterbatasan pengetahuan dari penulis, tidak dimasukkan di dalamnya. Namun, tulisan ini tidak mengurangi zeitgeist (semangat zaman) yang diusung oleh penulis, bahwa negeri ini merupakan suatu mosaik yang tersusun dari rangkaian serpihan-serpihan yang direkatkan oleh suatu ikatan kebangsaan. Dan, ikatan itulah yang selama ini diyakini sebagai sebuah kalimat sakti: Bhinneka Tunggal Ika. Unity in Diversity.
***
Ngaliyan, 25 Oktober 2010