Melawan Lupa
***
Untuk: Prof. Dr. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri (Rektor Universitas Indonesia) dan Dr. (HC) Abdullah bin Abdul Aziz Al-Saud (Raja Arab Saudi)
***
Ruyati. Pernah dengar atau masih ingat nama itu? Atau sudah lupa? Padahal beberapa waktu lalu nama itu sempat menjadi bahan obrolan di seantero negeri. Kini, nama itu seolah hilang, atau memang sengaja dihilangkan oleh penguasa yang gerah?
Ruyati. Seorang buruh migran asal Bekasi yang pulang hanya nama. Betul-betul hanya namanya saja yang pulang ke tanah air. Jasadnya kini terbujur kaku ditimbun teriknya pasir pekuburan tanah Arab.
Ruyati. Contoh manusia yang dirampas hak-hak dasarnya. Bahkan hak paling dasar manusia: hak hidup. Nasibnya sungguh malang. Jika teman-temannya sesama TKW bisa pulang dengan nyawa masih melekat di badan, meskipun sekujur tubuh dan jiwanya sudah koyak-moyak tak karuan lagi dikarenakan siksaan brutal bin biadab di negeri seberang, namun Ruyati, jangankan pulang dengan selamat, peti matinya pun tak kunjung terlihat di hadapan keluarganya.
Ruyati. Bahkan perwakilan diplomatik negeri ini pun tidak tahu tentang masalah yang menimpanya. Pihak KBRI mungkin mengetahui dari media massa. Apa hendak dikata? Sidang sudah dijalankan, vonis sudah dijatuhkan, dan eksekusi pancung pun sudah dilaksanakan. Sama sekali tidak ada kesempatan untuk membela diri baginya. Saya pun menduga, hak-haknya sebagai terdakwa mungkin tidak dipenuhi. Entah masih ada berapa TKI (Tenaga Kuli Indonesia) lagi yang akan bernasib seperti Ruyati?
Ruyati. Maksud hati agar arwahnya tenang di sisi-NYA, dalam konferensi pers Menteri Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan, bahwa Pemerintah Arab Saudi sudah “meminta maaf” atas eksekusi mati terhadap Ruyati. Belakangan, Menteri Luar Negeri Arab Saudi gantian membantah pernyataan tersebut. Menlu Arab Saudi menyatakan bahwa proses pengadilan atas Ruyati sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di negara itu. Menurut Anda siapa yang dusta?
Ruyati mewakili kisah jutaan buruh migran negeri ini yang dirampas hak-hak dasarnya. Dirampas oleh kongkalikong negeri pengirim dan negeri penerima buruh migran. Bagi penguasa, hak-hak buruh migran tidaklah asasi. Dengan lain perkataan, buruh migran tidak punya hak. Buruh migran hanya punya kewajiban. Kewajiban memeras keringat dan darah serta membanting tulang-belulang di negeri orang, untuk kemudian menyetor uang ke kantong penguasa. Naasnya, penguasa tidak peduli sekalipun buruh migran kelak harus menyetor nyawanya. Pun bagi penguasa, harga diri bangsa dan martabat warga negaranya sebagai manusia, tidaklah penting-penting amat.
Ruyati adalah warga “tanpa” negara dari suatu negeri yang dipimpin para pelacur. Anda tahu pelacur? Pelacur rela menukarkan harga diri dan martabat mereka demi kenikmatan syahwat, entah itu uang, kekuasaan, atau jabatan. Bukankah memang demikian birahi para pemimpin kita saat ini?
Ngaliyan, Ba’da Lohor 2 Ramadhan s/d Ba’da Asar 9 Ramadhan 1432
*) Tulisan ini pada mulanya berjudul “Negeri Pelacur”. Seiring dengan momentum maraknya pro-kontra pemberian gelar Doktor Kehormatan bagi Raja Saudi oleh Universitas Indonesia, maka judulnya pun saya ganti tanpa mengubah isinya.