Negeri Para Bedebah
***
maka bila negerimu
maka bila negerimu
dikuasai para bedebah
jangan tergesa-gesa
mengadu kepada Allah
karena Tuhan tak akan mengubah
suatu kaum
kecuali kaum itu sendiri
mengubahnya
maka bila negerimu
dikuasai para bedebah
usirlah mereka dengan revolusi
bila tak mampu dengan revolusi
dengan demonstrasi
bila tak mampu dengan
demonstrasi
dengan diskusi
tapi itulah selemah-lemahnya
iman perjuangan
***
Judul dan puisi di atas saya kutip
dari sebuah sajak yang dibacakan oleh Adhie Massardi, pada sebuah forum diskusi
Sabtu pagi di salah satu jaringan radio swasta nasional, beberapa bulan yang
lalu.
Si pembuat sajak, Adhie Massardi,
adalah seorang aktivis yang kerapkali memposisikan dirinya berseberangan dengan
pemerintah. Jiwa kritis mungkin diperoleh dari almarhum Gus Dur. Maklum, semasa
menjabat presiden, Gus Dur mempercayakan posisi juru bicara kepresidenan kepada
Adhie Massardi. Jadi, bahasa gampangnya, Adhie Massardi ini “orangnya” Gus Dur.
Saya menangkap suatu kesan
perlawanan dan rasa tertekan dalam larik-larik sajak di atas. Gugatan penuh
emosi yang ingin membebaskan diri dari ketertindasan penguasa yang lalim adalah
salah satu makna dari sajak tersebut.
Tentang siapakah para bedebah
yang menguasai negeri ini.
Tentang surat Ar-Ra’du ayat 11 yang dijadikan kalam
suci.
Tentang revolusi yang sanggup
mengusir para bedebah dari suatu negeri.
Tentang demonstrasi yang sanggup
menggulingkan rezim diktator otoriter militeristik dan cenderung tirani serta
koruptif.
Tentang diskusi yang disebut
sebagai iman perjuangan yang paling lemah.
Kemudian timbul masalah lain
akibat digunakannya lema “bedebah”. Yang jadi obyek sasaran dari kata yang
sarat dengan makna cacian dan cercaan serta umpatan itu adalah “pemimpin”.
Entah reaksi seperti apa yang terjadi di pihak penguasa negeri ini ketika
mendengar puisi itu “dinyanyikan”? Ataukah justru mereka (para penguasa itu)
belum pernah mendengar? Ataukah mereka malah sudah kebal dengan segala macam
sumpah serapah yang dilontarkan oleh para kritikus?
Berkelindan dengan judul di atas,
yang jadi pertanyaan saya adalah:
Negeri para bedebahkah Indonesia
ini?
Hanya para pemimpinnya saja yang
bedebah atau rakyatnya juga ikut-ikutan bedebah?
Atau malah jangan-jangan yang
menulis dan membaca tulisan ini juga bedebah?
Untuk menjawabnya sebuah
peribahasa layak untuk direnungkan:
dalamnya laut bisa diukur,
dalamnya hati siapa yang tahu.
***
Ngaliyan, Januari – Juli 2011