Dog of Imperialism
***
Saya rasa mayoritas kaum terpelajar di kolong langit ini dapat
langsung menyebutkan nama negara pemilik bendera di atas.
Mari kita bandingkan dengan gambar kedua ini. Dan silakan
tebak negara pemilik bendera ini.
***
Amerika Serikat sudah merdeka sejak 4 Juli 1776. Bendera
satu-satunya negara yang pernah menggunakan senjata nuklir dalam perang (yang
jelas-jelas dilarang) ini memiliki julukan “The Stars and Stripes”. Warna
dan pola dari bendera Amerika Serikat tentunya mempunyai makna bagi bangsa
Amerika sendiri. Baik itu makna simbolik maupun ditilik dari kesejarahan.
Sementara itu, “negara pemilik bendera kedua”
baru merdeka pada 31 Agustus 1957. Itu artinya “negara pemilik bendera
kedua” lahir delapan belas dasawarsa setelah negeri Uwak Sam.
Melihat kehampir-miripan antara kedua bendera dua negara
yang berbeda secara geografis maupun historis tersebut di atas, rasa-rasanya
sangat amat tidak mungkin hal itu terjadi hanya sebuah kebetulan belaka.
Anda tahu artinya?
Ya, betul sekali. Kesamaan tersebut merupakan sebuah
kesengajaan.
Menjadi membingungkan mengapa “negara pemilik
bendera kedua” memilih “menjiplak” bendera Amerika Serikat? Padahal
secara fakta dan hukum, “negara pemilik bendera kedua” adalah
persemakmuran dari Inggris. Mungkin, kesengajaan tersebut dipicu oleh para
pendiri “negara pemilik bendera kedua” yang merasa harus membalas
budi pada peradaban Barat, yang memang dedengkotnya adalah Amerika Serikat. Karena
bagaimanapun juga, kemerdekaan “negara pemilik bendera kedua”
tidak bisa dilepaskan dari campur tangan negara-negara Barat. Sehingga sebagai
ucapan terima kasih kepada Barat, “negara pemilik bendera kedua”
sengaja menggunakan bendera kebangsaan semirip mungkin dengan bendera Amerika
Serikat.
Campur tangan negara-negara Barat inilah yang oleh Pemimpin
Besar Revolusi Indonesia kala itu dianggap sebagai serbuan Nekolim (Neo
Kolonialisme dan Imperialisme). Sehingga untuk melindungi segenap tumpah darah Ibu
Pertiwi dari gelombang Nekolim, Pemimpin Besar Revolusi menggelorakan sandi
perang berawalan “Ganyang”, yang gaungnya masih relevan hingga kini.
Meskipun demikian, sejarah tidak akan pernah alpa
mencatat, bahwa kemerdekaan yang diperoleh “negara pemilik bendera kedua”
adalah HADIAH dari Inggris. BUKAN kemerdekaan yang
harus diperjuangkan ratusan tahun dan ditebus oleh banjir darah dan air mata,
seperti yang terjadi di sini, di negeri ini, di bumi pertiwi ini. Sampai di
sini, dalam hal harga diri, kita jauh lebih unggul.
***
Beberapa waktu lalu, lagu “Terang Bulan” mendadak menjadi
perbincangan hangat, bahkan menyerempet panas. Hal ini karena lagu “Terang
Bulan” sangat amat mirip sekali komposisinya (hanya berbeda liriknya) dengan
lagu berjudul “Negaraku”, yang tak lain tak bukan adalah lagu
kebangsaan “negara pemilik bendera kedua”.
Itu artinya, ada beberapa kemungkinan. Kalau tidak
keduanya diciptakan oleh komposer yang sama, berarti salah satunya menjiplak
habis-habisan TANPA RASA MALU SAMA SEKALI.
***
Merunut
sejarahnya, lagu Terang Bulan diadaptasi dari La Rosalie. La
Rosalie adalah sebuah melodi yang populer di Seychelles, negeri
kepulauan di lautan Hindia. Komposisi awal lagu La Rosalie
digubah oleh Pierre-Jean de Béranger, seorang musisi berkebangsaan Perancis
yang hidup antara 1780 sampai 1857.
Kemudian
oleh anggota grup musik Orkes Studio Djakarta, Saiful Bahri, lagu tersebut
diadaptasi menjadi Terang Bulan. Lokananta Records (perusahaan rekaman di Solo)
sudah merilis Terang Bulan pada 1956. Bahkan, nada yang sama sudah
diperkenalkan oleh "Indonesian Bangsawan", yang sedang mengadakan
pementasan opera di Singapura pada tahun 1920.
***
Perlu ditekankan di sini, komposisi lagu “Terang Bulan” awalnya
berasal dari La Rosalie hasil gubahan Pierre-Jean de Béranger. Ia
sendiri meninggal tahun 1857. Sedangkan “negara pemilik bendera kedua”
baru merdeka pada 1957. Terbentang jarak seratus tahun antara keduanya.
Anda tahu artinya?
Ya, betul sekali. Kesamaan tersebut merupakan sebuah
kesengajaan.
Sampai di sini kita sudah bisa mengetahui siapakah yang TIDAK
PUNYA RASA MALU SAMA SEKALI.
***
Rasanya saya tidak perlu lagi menyebutkan tragedi
pencurian aset nasional dan daerah yang jelas-jelas dicipta-rasa-karsakan oleh
masyarakat kita, kemudian tanpa malu-malu diakui dan diklaim sebagai milik oleh
“negara pemilik bendera kedua”.
Belum lagi upaya mencaplok kedaulatan NKRI dalam hal perbatasan
geografis seperti tragedi Sipadan-Ligitan, yang mudah-mudahan tidak akan terulang
kembali. Atau tindakan kriminal lainnya yang sampai saat ini tak henti-hentinya
membuat hati rakyat Indonesia berkali-kali menangis tercabik-cabik: apalagi
kalau bukan perlakuan biadab “negara pemilik bendera kedua” terhadap
buruh migran kita yang mencoba mengais sejumput rezeki di tanah jiran.
***
Medio Desember lalu, kebetulan saya nonton tivi siaran
langsung semifinal AFF Cup yang mempertandingkan tuan rumah “negara
pemilik bendera kedua” versus Thailand. Di tengah laga berlangsung,
terdengar jelas di telinga saya melalui speaker tivi di rumah, bunyi dari
lagu yang dinyanyikan oleh suporter “negara pemilik bendera kedua”.
Saya hanya bisa tertawa dan mengelus dada. Lagu yang dinyanyikan para suporter
“negara pemilik bendera kedua” tersebut sama persis dengan apa yang
sering didendangkan pendukung di Indonesia ketika menonton tim kesayangannya
bertanding. Kalau di Indonesia lagu tersebut berlirik seperti ini:
Yo… Ayo… Ayo Indonesia…
Ku ingin… Kita harus menang…
Nah, yang dinyanyikan para “penyokong” “negara
pemilik bendera kedua” sama persis. Hanya mengganti kata “Indonesia”
saja.
***
Sampai di sini, saya menyerahkan sepenuhnya kepada sidang
pembaca sekalian sebangsa dan setanah air di manapun Anda berada, untuk menilai
sendiri: BANGSA MACAM APA MEREKA?
Bangsa macam apa mereka?
Jika untuk bendera negara saja harus meniru negara lain.
Bangsa macam apa mereka?
Jika untuk lagu kebangsaan saja harus menjiplak negara
lain.
Bangsa macam apa mereka?
Jika untuk tanah saja harus mencaplok kedaulatan negara
lain.
Bangsa macam apa mereka?
Jika untuk kebudayaan saja harus mencuri dari negara
lain.
Bangsa macam apa mereka?
Jika untuk melakukan tugas-tugas ringan rumah tangga saja
harus memeras keringat tenaga kerja dari negara lain.
Bangsa macam apa mereka?
Jika melanggar Hak Asasi Manusia warga negara lain sudah
menjadi kebudayaan.
Sungguh, lengkap sudah kisah sebuah bangsa yang amat
sangat tidak berbudaya.
Akhirnya, menjadi semakin terang benderanglah siapa “DOG
OF IMPERIALISM” yang sesungguhnya.
***
Segaran
Desember 2012 – Januari 2013
***
NB: Tulisan ini semoga bisa menutup mulut Zainudin Maidin,
mantan Menteri Penerangan “negara pemilik bendera kedua”, yang
pernah menyebut mantan Presiden Habibie sebagai dog of imperialism.