Bakul Mendoan
***
Kami memanggilnya Mbah Yem. Usianya kutaksir sudah
tujuhpuluhan. Terlihat dari tampak jelasnya guratan dan lipatan keriput di
wajahnya. Sudah lima bulan terakhir ini Mbah Yem menjadi langganan keluarga kami.
Mbah Yem menjajakan aneka macam gorengan, seperti: mendoan (tempe), gedhang
goreng (pisang goreng), tahu susur (tahu isi), badhak (bakwan), mentho (sudah pernah mencicipinya? ini adalah salah
satu makanan favorit saya sejak kecil, selain mendoan), blanggem (singkong
goreng), dan tape goreng. Untuk minumannya, beliau menjual teh manis dan kolak
pisang, yang masing-masing sudah dibungkus dalam plastik bening. Selain membopong
sebuah baskom, beliau membawa barang dagangannya dalam sebuah wakul (keranjang)
dari anyaman bambu yang digendong di punggung.
Pada bulan-bulan biasa, Mbah Yem biasanya lewat
depan rumah kami sekitar jam setengah dua belas siang. Namun, karena menyesuaikan
dengan keadaan, selama bulan puasa, Mbah Yem memilih sore hari untuk berjualan.
Sekitar jam empat sore beliau sudah lewat depan rumah kami. Suaranya sangat
khas di telinga kami: “Gorengane Pak... Gorengane Bu….”
***
Beliau tidak sendirian berjualan. Bersama suaminya
(sampai sekarang saya tidak tahu namanya),
mereka berdua layaknya mimi lan mintuna,
berdua setia kemana-mana. Dari rumah mereka, yang berada di RT sebelah (masih
satu RW dengan rumahku), mereka berjalan sembari menawarkan dagangannya di
sepanjang perjalanan. Tujuan mereka sebenarnya adalah Pasar Jerakah. Di pasar
itu, sudah puluhan tahun mereka berjualan gorengan dan minuman.
Suatu hari ibuku mencoba mengajakku untuk
mengenang masa lalu. Kenangan yang berkelindan dengan Pasar Jerakah dan Mbah
Yem:
“Nang, sewaktu kau masih TK dan sering diajak ibu
ke pasar selepas menjemputmu, Mbah Yem dan suaminya biasanya berjualan di atas
tangga pasar. Di dekat pangkalan ojek. Dulu, saat kondisi fisik mereka masih
prima, mereka buka lapak sejak pagi sampai malam. Waktu itu, mereka bahkan
membawa petromak ke pasar sebagai penerang di malam harinya. Namun, dasawarsa terakhir
ini mereka hanya berjualan setengah atau seperempat hari saja. Bahkan, jumlah
barang dagangannya sudah tidak sebanyak dulu.”
Perkataan ibu kudengar sembari membongkar-bongkar
ingatan di kepala. Dalam benak aku berkata, “Beginilah cara ibu mengajarkan
sejarah kepadaku. Sejarah tentang kampung halamanku sendiri.”
Aku membayangkan bentuk bangunan Pasar Jerakah
tempo dulu. Kini, Pasar Jerakah sudah dibangun baru. Dengan bentuk yang lebih
modern. Itupun harus didahului dengan peristiwa kebakaran hebat beberapa tahun lalu yang menggemparkan kampung kami. Namun, jika disuruh memilih, aku
lebih suka dengan Pasar Jerakah saat lampau. Dulu, sampai malam pun aktivitas
di sana masih ramai. Sering aku diajak ke sana selepas magrib oleh mbak-mbakku
(anak dari budhe-budheku) yang tinggal di rumahku sewaktu mereka kuliah di
Semarang. Sekarang, bergeser siang selepas lohor saja, bangunan pasar yang
tampak “wah” dari luarnya itu sudah lengang.
Satu hal yang membuatku cukup prihatin, meskipun sudah
sepuh, Mbah Yem dan suaminya tidak dikaruniai keturunan. Namun, keduanya
memiliki seorang anak asuh yang dibesarkan sejak kecil. Anak asuh mereka itu
sekarang bekerja di Malaysia.
Selain keramahan mereka dalam melayani pembeli,
kemurahan mereka nampak pula dalam menjual barang dagangannya. Seluruh gorengan
dan minumannya dihargai lima ratus rupiah. Iya. Saya tidak salah ketik. Anda pun
tidak salah baca. Lima ratus rupiah. Menurutku, harga tersebut tidak sebanding
dengan tenaga, bahan baku, dan proses memasak yang harus mereka tempuh dan
habiskan. Cita rasa gorengannya pun, menurut saya, gurih, dan ukurannya juga
besar-besar dibanding gorengan di penjual yang lain. Entah, berapa keuntungan bersih
yang mereka dapatkan dalam sehari berjualan.
Dari seluruh gorengan yang mereka jajakan, keluargaku
memiliki klangenan (kesukaan) yang berbeda-beda. Aku paling menyukai mendoan
dan mentho. Namun, Mbah Yem tidak selalu membawa mentho. Jarang sekali beliau
membuatnya. Sekalinya dia ada, pasti aku akan langsung membelinya. Ibuku lebih
suka membeli pisang goreng. Setiap kali Mbah Yem terdengar suaranya, ibu selalu
berpesan padaku untuk membeli pisang goreng. Kalau ayah adalah penggemar
blanggem. Bahkan, beliau sering sekali memasaknya sendiri di rumah. Sedangkan kakakku
bisa dikatakan tidak terlalu fanatik dengan salah satu menu tersebut. Kakak tidak
pernah memiliki pesanan tersendiri. Kakak menerima apa adanya apapun menu yang
kupilihkan.
Uniknya, gorengan dan minuman yang mereka jual itu
dimasak masih menggunakan cara tradisional. Mereka masih menggunakan kayu bakar
di rumahnya. Mungkin inilah yang membuat cita rasa gurih tadi. Sering kulihat Mbah
Yem dan suaminya memanggul kayu dan ranting lewat depan rumahku, entah dari
mana mereka mendapatkan. Pernah, suatu hari ayah menaruh kayu-kayu bekas
bongkaran di halaman rumah. “Besok kalau Mbah Yem dan suaminya lewat, supaya
dibawa oleh mereka,” jawab ayah ketika kutanya untuk apa kayu-kayu itu.
Ramadhan kali ini aku sudah tidak lagi mendengar suara
khas Mbah Yem melewati gendang telingaku. Pekerjaan yang mengharuskan merantau ke ibukota, menjauhkanku dari rumah, tempat di mana setiap hari
beliau melewatinya.
Semoga kasarasan (kesehatan) dan kawilujengan (keselamatan),
senantiasa dianugerahkan Gusti Allah kepada Mbah Yem dan suaminya.
Agar tetap bisa menjadi contoh bagi generasi yang
lebih muda, seperti saya ini, bahwa mensyukuri hidup adalah dengan bekerja
keras tak kenal lelah.
Bahwa mensyukuri hidup adalah dengan memberikan
yang terbaik bagi orang lain.
Bahwa mensyukuri hidup adalah dengan tidak menjadikan
keuntungan sebagai tujuan.
Hidup bukanlah tentang untung dan rugi.
Selamat berbuka puasa... dengan gorengan...
sesruput teh manis... dan seteguk kolak pisang...
***
Bagian awal tulisan ini mulai ditulis di Segaran, menjelang
Ashar, 12 Ramadhan 1432. Selesai ditulis lima tahun kemudian, di
Weltevreden, menjelang Magrib, 17 Ramadhan 1437.