Gunungtawang (Jilid 3)

***

Hari ini Jum’at pertama setibanya kami di Gunungtawang.

Jarum jam sudah bergeser melewati angka tigapuluh menuju pukul duabelas siang.

“Jangan lupa bawa uang untuk mengisi kotak infak,” kata Pak Darmadi di depan kamarku. Sengaja dia naik ke atas, untuk mengingatkan dan mengecek kesiapan kami.

Sambil mengencangkan sarung, kujawab singkat, “Iya, Pak!”

Setelah menyunggingkan senyum, beliau langsung turun ke bawah. Beberapa saat kemudian, dari atas balkon, kulihat beliau sudah berjalan ke arah barat. Arah di mana Masjid Istiqomah berada. Langsung kuhampiri ranselku, ransel pinjaman dari Ustadz Wafi, yang sejak kedatangan kami tiga hari yang lalu, belum semuanya kukeluarkan isinya. Kuambil selembar uang dari dompet cokelatku.

“Inza mana, bos?” tanyaku pada Farid.

“Sudah berangkat duluan tadi,” jawabnya mematut di depan kaca gelap, hiasan daun pintu balkon, sambil meratakan minyak rambut diikuti dengan sapuan sisir oranye di kepalanya. Sisir yang sama persis dengan yang kumiliki di rumah.

“Ingin dapat kurban unta dia!” suara Hamdani yang baru saja selesai mandi ikut masuk di gendang telingaku. Tubuhnya hanya dibalut handuk di bagian bawah. Ternyata anak syari’ah itu juga mendengar pertanyaanku tadi. Kontan kami bertiga tertawa mendengar jawabannya.

Jawaban Hamdani mengingatkanku pada ajaran Pak Muhtar Sibah, guruku waktu di madrasah ibtidaiyah. Sejenak ingatanku melayang ke masa-masa itu.

***

“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian pergi ke masjid pada waktu yang pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta.”

“Dan barangsiapa yang datang pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor sapi.”

“Dan barangsiapa yang datang pada waktu yang ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang bertanduk.”

“Dan barangsiapa yang datang pada waktu yang keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam.”

“Dan barangsiapa yang datang pada waktu yang kelima, maka seakan-akan dia berkurban dengan sebutir telur.”

Urai Pak Muhtar Sibah menerangkan tentang keutamaan hari Jum’at dalam pelajaran Qur’an Hadits dengan penuh wibawa di depan kelasku, di depan enambelas murid kelas enamnya, belasan tahun yang lampau.

***

“Karena berangkat paling awal, mungkin Inza ingin mendapat pahala berkurban unta,” batinku.

Allahu akbar… Allahu akbar…

Suara takbir yang mengawali adzan menyadarkanku dari lamunan.

Lantunan suara itu sudah memanggil-manggil kami untuk bersegera ke masjid.

“Cepetan, coy!” ucapku agak memerintah kepada Hamdani. Kulihat tangannya bergerak kesana-kemari, menyemprotkan sebotol parfum ke sekujur tubuhnya.

Sejurus kemudian, dengan sedikit mempercepat langkah, kami bertiga bergegas menuju masjid.

Masjid Istiqomah, begitulah nama satu-satunya masjid di Desa Gunungtawang. Berjarak kurang lebih lima puluh meter ke arah barat dari rumah Pak Darmadi yang kami tinggali.

Tiga hari yang lalu, di halaman masjid ini, mobil yang mengantar kami dari kampus satu di Semarang, mengakhiri perjalanannya di sini. Menurunkan para penumpang dan setumpuk barang bawaannya.

Mobil yang sama pula, akan datang lagi di halaman masjid ini untuk menjemput kami, empat puluh lima hari lagi. Begitu perjanjian kami dengan pak sopir waktu itu.

Sudah banyak jamaah di dalam. Terlihat dari alas kaki yang terparkir memenuhi teras depan masjid. Beberapa jama’ah yang datang bersamaan dengan kami, langsung menuju ke sayap masjid di kanan dan kiri untuk mengambil air wudhu. Kami bertiga langsung masuk ke dalam masjid, karena sudah bersuci terlebih dahulu di rumah Pak Darmadi.

“Masih bisakah dapat saf bagian depan?” tanyaku dalam hati.

Sambil melangkahkan kaki ke dalam, kepalaku celingak-celinguk mencari celah-celah saf kosong.

Sepintas mataku melihat Pak Darmadi sudah larut dalam dzikir di saf terdepan. Di sebelah kanannya, kulihat Pak Ahmad Mu’min sedang menjalankan sembahyang sunnah.

Kakiku berhenti di saf ketiga dari depan. Masih ada kesempatan untuk sembahyang sunnah.

Selesai sembahyang rawatib, sambil menunggu adzan kedua, kulantunkan kalimat-kalimat pujian dan permohonan kepada Allah, pun demikian jama’ah lain.

Selang tidak lama kemudian, kujumpai peristiwa unik yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Lewat pengeras suara, sang bilal membacakan sebuah shalawat ke atas Nabi, diikuti para jama’ah.

Sejurus kemudian, tanpa dikomando, dari bagian saf paling kanan pada tiap-tiap barisan, kotak amal mulai dipergilirkan ke arah kiri.

Kotak amal di masjid ini ada di masing-masing saf, dan sengaja diletakkan di bagian saf yang paling kanan.

Kekagumanku muncul dengan mekanisme pergiliran kotak amal yang baru pertama kulihat. Berbeda dengan di mayoritas masjid-masjid lain, yang menggilir kotak amal dengan sistem ular-ularan di tengah-tengah khotib sedang berkhotbah.

“Cukup bijak juga penduduk desa ini,” gumamku, “dengan cara seperti ini, para jama’ah akan lebih khusyu’ dalam mendengarkan khotbah, tanpa terganggu kotak amal berseliweran di tengah-tengah khotbah.”

Kulihat kotak amal tidak bergeser ke arah kiri, sebelum berhenti sejenak untuk diisi oleh jama’ah yang dilewatinya. Tiap kali bergeser, tiap kali itu pula seorang jama’ah memasukkan infak ke dalamnya. Dan suara lantunan shalawat Nabi terus dilantunkan oleh para jama’ah ketika proses ini sedang berlangsung.

Karena posisi dudukku pada saf di bagian kiri, maka aku dapat melihat dengan jelas proses menggilir kotak amal tadi. Mata ini kusempatkan menjelajah ke saf-saf lain, seperti itu pula yang kutangkap oleh indra penglihatanku.

Setelah perjalanan kotak amal mencapai ujung paling kiri, berakhirlah lantunan shalawat Nabi.

“Benar-benar tradisi yang unik,” lagi-lagi aku menggumam dalam hati.

Adzan kedua pun dikumandangkan.

Khotib pun berkhotbah.

Untuk selanjutnya peristiwa unik selanjutnya dalam ritual Jum’atan terjadi dan kualami sendiri. Kulihat, kudengar, dan kurasakan sendiri. Oleh indra-indraku sendiri.

Seperti biasa, sang khotib mengawali dengan kalimat-kalimat pujian kepada Allah. Kemudian disambung dengan ajakan takwa.

Kalimat yang mengena dalam benakku dalam khotbah ini adalah ajakan khotib agar jama’ah senantiasa meningkatkan takwa dan iman kepada Allah.

Monggo, sedoyo, kulo lan panjenengan, tansah haningkataken takwa soho iman, dhumateng ngarsanipun Gusti Pangeran,” ucapan khotib dalam bahasa Jawa halus menggema dari atas mimbar, mengawali khotbahnya.

Sepatah-duapatah kata lagi setelah nasehat takwa yang beliau sampaikan, untuk sejurus kemudian langsung diakhiri oleh beliau. Singkat sekali khotbah siang ini.

Lagi-lagi ingatan otakku ini melayang ke dalam ilmu yang kupelajari ketika masih di bangku sekolah dulu. Kali ini wajah Pak Nur Cholis ketika menerangkan materi tentang rukun khotbah Jum’at berkelebat membayang-bayang di kedua mataku. Pak Nur, guru PAI-ku ketika SMA, yang dikenal dengan suara lantangnya ketika mengajar maupun ketika mengisi ceramah di masjid sekolah.

***

“Semua khotbah, termasuk khotbah Jum’at, itu intinya hanya ada dua, ajakan takwa dan doa. Jadi, anak-anak.. yang laki-laki terutama.. kalian jangan takut kalau suatu ketika diberi amanah untuk menjadi khotib.

Kalian cukup mengatakan:

Ittaqullah.. ittaqullaha haqqa tuqatihi.. wala tamutunna illa wa antum muslimun...”

“Begitu saja isi khutbah pertama. Selanjutnya terserah kalian kalau mau berimprovisasi. Nah, untuk khotbah kedua, tutuplah dengan doa. Sudah begitu saja sudah sah khotbahnya,” kata Pak Nur dengan percaya diri di depan murid-murid kelas I.4.

“Masa iya Pak? Begitu saja sudah disebut khotbah?” sebuah pertanyaan bernada meragukan yang tak sempat kuajukan ke beliau menyeruak dalam benakku.

***

Akhirnya, beberapa tahun selepas dari bangku putih abu-abu, di sebuah desa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku, aku dapat menerima pelajaran dari Pak Nur, langsung dari pengalaman hidupku sendiri.

Sang khotib berdiri di atas mimbar Masjid Istiqomah pada siang ini, menurut perhitungan dan perkiraanku, kurang lebih sekitar lima menit. Bahkan, mungkin tidak lebih dari lima menit. Aku pun cukup kaget dengan cepatnya khotbah kali ini.

Benar-benar khotbah Jum’at tersingkat yang pernah kualami sepanjang hidupku.

Sembahyang Jum’at pun ditegakkan...

Sebuah kesan akan terus terkenang...

Kenangan tentang kotak amal yang unik...

Dan khotbah Jum’at yang supercepat...

(bersambung)

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Akhbaruz Zaman

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun