Motivasi

***

Sudah hampir dua tahun terakhir ini saya tidak pernah menulis lagi. Terakhir kali saya menuangkan pemikiran ke dalam larik-larik untain kata, untuk kemudian saya posting di blog pribadi saya, kira-kira tahun 2014. Dan, baru mulai di tahun 2016 ini nafsu menulis saya kembali muncul.

Alasannya sederhana mengapa saya kehilangan kemauan dan kemampuan menulis hampir dua tahun ini. Karena dua tahun terakhir ini saya sangat-sangat jarang sekali membaca buku. Padahal syarat mutlak bagi orang yang ingin menulis adalah harus mempunyai bekal terlebih dahulu. Dan, bekal tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah diperoleh dari membaca buku. Bukannya tidak membaca sama sekali. Saya masih membaca, tapi jumlah bacaannya sangat-sangat menurun drastis dibanding tahun-tahun lampau. Apalagi jika yang dijadikan benchmark adalah saat-saat masih kuliah.

Begitu pentingnya membaca buku bagi orang yang ingin menulis. Saya pernah membaca sebuah rumus dari seorang tokoh (saya lupa namanya, hehe), bahwa jika kita ingin membuat sebuah karangan atau tulisan yang bermutu, minimal kita harus membaca 200 buku terlebih dahulu. Buset dah... 200 buku hanya ditukar dengan sebuah karangan...

Saya jadi membayangkan, berapa buku yang telah dibaca oleh Bung Karno yang mampu menulis pledoi setebal 100 halaman berjudul “Indonesia Menggugat” hanya dalam waktu semalam dari balik jeruji penjara Banceuy (saya belum dapat memastikan kebenaran hal ini.. yang pasti, ini adalah satu-satunya kalimat yang saya ingat dari Bu Evani, guru favorit saya ketika SMA.. dan dia guru sejarah). Padahal ketika itu usia Bung Karno masih 29 tahun. Seusia saya sekarang.

***

Kembali ke judul tulisan ini. Tentunya kembalinya ghirah menulis saya tidak lepas dari adanya motivasi. Jujur saya akui, kali ini saya termotivasi oleh seorang sahabat saya. Rasionalisasi saya cukup njelimet. Begini... saya termotivasi untuk menulis lagi, setelah mendengar dari sahabat saya itu, bahwa dia termotivasi untuk menulis lagi setelah membaca tulisan-tulisan saya.. nah lho... Karena sahabat saya itu memang seorang pecinta buku, dan suka menulis juga.

Saya tidak menyangka tulisan-tulisan saya itu, yang tidak bermutu bin ngawur bin sembrono yang saya pajang di dunia maya itu, ternyata mempunyai dampak bagi orang lain.

Saya katakan “ngawur dan sembrono”, karena lewat tulisan, saya pernah ikut mem-bully anggota DPR, mengkritik presiden negeri ini, memprotes PSSI, menghujat pejabat “negeri jiran”, menyindir Rektor UI, mengolok-olok Raja Arab, dan menumpahkan kekecewaan terhadap negeri saya sendiri.

Lebih tidak menyangka lagi, kalau ternyata tulisan-tulisan saya mampu menyentuh hati seseorang. Jadi, wajar-lah kalau akhirnya dia jatuh hati pada saya. Eh, pada tulisan saya mungkin lebih tepatnya...

Ternyata, dia, sahabat saya itu, telah mampu mengamalkan sebuah petuah tentang “mengambil hikmah dari manapun datangnya”, seperti dinasehatkan oleh Sayyidina Ali.

Untuk F... terima kasih, atas motivasinya...

***

Weltevreden,
13062016

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman