Muhammad Ali

***


Entah sebuah kebetulan atau tidak, hari ini (4 Juni 2016), ketika saya membuka-buka sebuah majalah, saya mendapati sebuah liputan berita yang menampilkan sebuah foto dengan latar belakang tulisan yang cukup jelas: “The Greatest of All Time”, dan tampak jelas pula seseorang yang dimaksud oleh kalimat tadi: Muhammad Ali, sedang menjalani satu partai adu jotos dengan lawannya (entah siapa saya tidak dapat mengenalinya).

Majalah yang saya baca tadi bukan majalah baru. Terpampang jelas warsa terbit di sampul depannya: Desember 2003. Tahun di mana pantat saya masih setia menghangatkan bangku SMA kelas 2. Uniknya, majalah itu baru sampai ke tangan saya hari ini, baru sempat saya buka setelah lewat hampir 13 tahun pascakeluar dari dapur cetaknya. Tema besar edisi majalah tersebut pun memang benar-benar besar: “Mencari Magnum Opus”.

Masih di hari yang sama pula, dunia kehilangan Pak Ali yang berjuluk The Greatest of All Time tadi. Entah sebuah kebetulan atau tidak. Di antara limabelas edisi majalah yang saya terima, saya memilih secara acak, untuk kemudian menjatuhkan pilihan kepada tulisan yang cukup asing namun kerap akrab juga mampir di telinga: Magnum Opus. Dan, tidak disangka, di dalam majalah yang saya buka pertama ini, saya menjumpai sebuah foto tentang Pak Ali tadi, tepat pada hari dipanggilpulangnya beliau oleh Sang Pencipta.

Saya sendiri tidak pernah menyaksikan kehebatan beliau merajai ring tinju dunia pada masanya. Saya generasi 90-an. Sedangkan beliau berjaya pada 60-70-an. Saya hanya mendengar kisah-kisah kehebatan beliau dari tutur ibu dan ayah saya ketika kami sekeluarga bersama-sama nonton partai tinju dunia pada akhir pekan via layar kotak ajaib. “Dia sering mengumbar kata-kata saat sebelum, selama, dan sesudah bertanding,” kata ibu saya tentang Pak Ali. “Oleh karena itulah dia dijuluki Si Mulut Besar,” timpal ayah mengimbangi ibu.

Kita patut iri pada beliau. Sesaat setelah memperoleh hidayah, ketika orang-orang bertanya nama apa yang akan beliau gunakan untuk menggantikan Cassius Marcellus Clay Jr., beliau menjawab dengan tegas “Muhammad Ali”. Gabungan nama dari dua tokoh yang sangat beliau kagumi.

Dan, Allah pun akhirnya benar-benar menjadikannya memiliki kemuliaan dan derajat yang tinggi.

Kuat memegang teguh prinsip yang diyakini, walau ancaman jeruji besi hotel prodeo sempat akan mengekang tubuh kekarnya, tak menyurutkan pendiriannya, bahwa perang Vietnam adalah bentuk kezaliman dan pengkhianatan terhadap Universal Declaration of Human Rights, yang notabene salah satu penyusunnya adalah seorang tokoh dari tanah airnya sendiri.

Sikap mbalelo Pak Ali terhadap pemerintah ditebusnya dengan prestasi fenomenal di ring tinju. Sebenarnya ini juga bisa dikatakan blessing in disguise bagi Amerika sendiri. Mereka punya warga yang menjadi idola dan pahlawan bagi jutaan orang di dunia ini. Pak Ali adalah simbol perlawanan terhadap penindasan, pembebasan dari hantu diskriminasi, dan kerja keras mewujudkan impian.

Kebesaran Pak Ali, mau tidak mau, suka tidak suka, membuat negerinya sendiri berpikir ulang untuk membuang jauh-jauh politik standar ganda dan paham rasialisme. Sebuah paham yang seharusnya sudah terkubur dalam liang lahat sejarah, sesaat setelah Kanjeng Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus ke bumi.

Pak Ali, orang-orang Amerika, bahkan penduduk dunia pada masa itu, tidak membayangkan bahwa kurang lebih setengah abad kemudian, Negeri Adidaya itu akan dipimpin oleh seseorang yang mewakili golongan yang selama ini terpinggirkan.

Amerika tidak punya alasan untuk tidak memberikan penghargaan kepada Pak Ali. Layaknya para pesohor yang mengharumkan negerinya, Pak Ali dibuatkan sebuah prasasti di dataran paling kondang di seantero negeri itu: Hollywood. Keteguhan memegang prinsip dari beliau diuji lagi. Beliau tidak ingin nama "Muhammad" ditaruh di lantai, seperti nama-nama tokoh lain. Dan, inilah jawaban Allah atas keputusan beliau mengubah dan memilih nama muslimnya. Prasasti beliau tidak ditaruh di lantai, seperti yang lainnya, melainkan di dinding. Dan, ini adalah satu-satunya. Nama beliau benar-benar ditinggikan daripada yang lain. Seperti namanya: Ali, yang berarti “derajat yang tinggi”.

Terima kasih, Pak Ali, atas cerita hidupnya..

Lahul Fatihah..

***

Mulai ditulis di perpustakaan pribadi saya, Segaran, 5 Juni 2016, 01.05 WIB.
Selesai ditulis di atas KA Menoreh Semarang-Jakarta, 1 Ramadhan 1437, 03.18 WIB.
Tulisan ini diketik menggunakan ponsel pintar saya: Evercoss A75W

***
Salam untuk sahabat: F...

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman