Sebuah Syair dari Kampung Halaman

***

eling-eling siro menungso
elingono anggonmu solat ngaji
mumpung durung katekanan
malaikat juru pati

***
laa ilaaha illa Allah
Muhammadur Rasulullah
al-malikul haqqul mubin
shadiqul wa’dil amin

***
panggilane kang moho kuoso
gelem ora bakal digowo
disalini sandangan putih
yen wes budhal ora bisa mulih

***
laa ilaaha illa Allah
Muhammadur Rasulullah
al-malikul haqqul mubin
shadiqul wa’dil amin

***
tumpakane kereto jowo
rudho papat rupo menungso
jujugane omah guwo
tanpo bantal tanpo kloso

***
laa ilaaha illa Allah
Muhammadur Rasulullah
al-malikul haqqul mubin
shadiqul wa’dil amin

***
omahe rak ono lawange
turu ijen rak ono kancane
ditutupi andhang-andhang
diurug den siram kembang

***
laa ilaaha illa Allah
Muhammadur Rasulullah
al-malikul haqqul mubin
shadiqul wa’dil amin

***
tonggo-tonggo podho nyambang
tangise koyo wong nembang
yen ngaji arang-arang
pertondho imane kurang

***
laa ilaaha illa Allah
Muhammadur Rasulullah
al-malikul haqqul mubin
shadiqul wa’dil amin

***
oleh: Kyai Syaiful Anwar (Staf Kelurahan Tambakaji)

***

Semenjak saya tinggal di ibukota, lebih tepatnya sudah delapan bulan terakhir, tembang ini sudah tidak pernah hinggap di telinga saya lagi. Ketika saya masih tinggal di kampung halaman, setidaknya sebulan sekali saya bisa mendengarkan irama-irama syair ini menyayat-nyayat hati jamaah pengajian malam Jum’at di masjid kampung saya.

Kadang, walaupun saya tidak ikut ngaji di masjid, saya pun masih bisa mendengarkannya dengan jelas di kamar saya sendiri. Karena memang rumah saya hanya sepelemparan batu dari masjid kampung saya.

Pendendang tembang tersebut, Pak Syaiful Anwar, sehari-harinya adalah staf administrasi di kantor Kelurahan Tambakaji. Namun, beliau sendiri adalah tokoh masyarakat di kampung saya. Kelebihannya dalam pemahaman ilmu-ilmu agama membuatnya mendapatkan kedudukan tersendiri di kampung saya.

Saya pribadi mempunyai kenangan terhadap beliau. Sesaat setelah mendapatkan kepastian kelulusan ujian negara, saya mengurus surat pengantar untuk membuat SKCK di kelurahan. Ternyata beliau yang bertugas melayani masyarakat pada hari itu. Saya mengatakan pada beliau, bahwa saya adalah jamaah Masjid Al-Barokah, tempat di mana beliau sering mengisi pengajian di kampung saya. Beliau bertanya untuk keperluan apa saya membuat SKCK. Saya pun menjawab untuk pemberkasan. Beliau sempat kaget. Dan beliau sempat mendoakan saya, memuji-NYA, dan sebelum saya pamit pulang, beliau sempat menanyakan nama ayah saya. Dalam hati saya berkata: bertambah satu beban di pundak saya…

Beliau sering mengisi pengajian di masjid kampung saya, setidaknya sekali dalam setiap bulannya pada malam Jum’at bakda Magrib. Sebelum memulai ceramahnya, Pak Syaiful pasti mengajak jamaah masjid untuk menembangkan syair-syair tersebut. Beliau dan para jamaah bergantian dalam membaca syair tersebut. Bait-bait yang berbahasa Jawa dilantunkan sendirian oleh Pak Syaiful. Sedangkan jamaah masjid secara bersama-sama melantunkan bait-bait yang berbahasa Arab.

Saya lupa kapan pertama kali mendengar bait-bait tersebut. Yang jelas, bait-bait tersebut mampu menimbulkan rasa trenyuh bagi orang yang mendengar dan memahaminya. Bagi saya, bait-bait tersebut dapat membuat dinding hati meleleh oleh perasaan penyesalan terhadap lumuran dosa yang telah saya perbuat.

Dan, saya sendiri selalu terdiam, merenung, bahkan… tak jarang saya mblambang ketika mendengarkan syair tersebut… mengingat lautan dosa dalam diri saya sendiri…

Ketika mengetahui bahwa saya akan meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke ibukota, saya ingin sekali merekam syair ini. Sebagai pepeling, mungkin itu tujuan saya. Senafas dengan kata pertama syair tersebut. Beberapa hari sebelum saya berangkat ke ibukota, ternyata Pak Syaiful mengisi pengajian di masjid kampung. Saya memang tidak ikut jamaah di masjid. Namun, dari kamar saya sendiri, saya mencatat larik demi larik ketika lantunan syair-syair tersebut mulai ditangkap oleh kedua daun telinga saya.

Akhirnya, syair ini saya putuskan untuk saya blogger-kan. Selain agar saya dapat membacanya di manapun berada, juga mungkin ada orang lain yang digariskan Allah untuk membuka blog saya, membacanya, dan biidznillah, mengambil hikmah darinya. Seperti dikatakan oleh Sayyidina Ali, ambillah hikmah dari manapun datangnya…

***
Weltevreden,
Jum’at pertama Ramadhan 1437

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman