Gunungtawang (Jilid 4)
***
Kawan, ini termasuk pengalaman paling gila dalam
hidupku. Shalat Idul Adha di atap rumah orang. Apalagi alasannya kalau bukan terlambat
bangun tidur dan kehabisan barisan shalat. Bahkan untuk barisan yang paling
belakangpun aku tidak mendapatkannya.
***
“Allaaahu akbar,” terdengar jelas dari speaker
mushalla, suara sang imam sudah memulai rakaat pertama shalat id. Padahal kami bertiga baru saja keluar dari rumah
Pak Darmadi. Parahnya, masih sempat-sempatnya kami berdebat ke mana akan
melaksanakan shalat id: antara Masjid Istiqomah, atau di mushalla saja, yang
notabene lebih dekat sepelemparan batu dari rumah. Sementara itu dari speaker
Masjid Istiqamah, terdengar mendayu-dayu suara sang imam melantunkan Al-Fatihah.
Semakin membuat perasaan kami gundah gulana.
“Wes.. ayo neng mushalla ae, brooo...,”
Farid menghentikan perdebatan. Belum sempat kami berpikir untuk mengiyakan
usulannya, kulihat dia sudah mengambil langkah seribu ke arah mushalla.
Setibanya di mushalla, kebingungan kami semakin bertambah. Sudah tidak ada
saf kosong yang tersisa di dalam mushalla, bahkan jamaah sudah meluber di luar.
Sementara takbir demi takbir rakaat pertama shalat id terus berjalan. Kegalauan
di hati kami terus bertambah.
Otak kami
langsung berputar. Sejenak mataku menangkap ada ruang kosong untuk tempat
shalat. Bukan. Bukan di dalam mushalla atau di sela-sela jamaah
yang ada di luar. Tapi di atap rumah orang. Iya. Atap rumah orang. Kebetulan
atap rumah itu bersebelahan dengan saf jamaah perempuan paling belakang yang mendapatkan tempat di bagian luar mushalla. Hanya saja, atap rumah tersebut lebih tinggi sekitar satu setengah meter.
“Tidak ada
rotan, akar pun jadi,” batinku.
Sambil kasak-kusuk, mengendap-ngendap di belakang jamaah perempuan, terpaksa kami naik ke atap rumah itu. Kebetulan sekali atap rumah itu
berupa cor-coran. Kebetulan juga ada
semacam pijakan untuk menaikinya. Tanpa ba-bi-bu lagi, dan membuang jauh-jauh rasa malu, aku dan Hamdani, langsung menggelar sajadah di sana. Aku tidak tahu
bagaimana nasib Farid. Jadilah kami satu saf membuat barisan sendiri, di atap rumah orang. Ternyata keputusan kami
menggelar saf di sini diikuti oleh beberapa anak laki-laki beberapa saat
kemudian.
***
Gila. Kenapa
pula aku bisa terlambat bangun untuk momen Idul Adha? Ah, mungkin ini hukuman
buatku. Semalam, yang seharusnya malam takbiran, yang seharusnya pula malam itu
aku gunakan untuk mengagungkan asma Tuhan, malah aku gunakan untuk keluyuran
keliling desa.
Bersama Farid
dan Hamdani, serta ditemani oleh beberapa remaja warga desa, kami berkeliling
kampung untuk membagi-bagi bingkisan. Teman-teman seposko berinisiatif
memberikan buah tangan kepada warga belajar. Ya, hitung-hitung sebagai
kenang-kenangan pengikat persaudaraan.
bersambung...