Mempertahankan Kurikulum Langit

***

Suatu pagi, medio Juli 2016, tepat dua pekan setelah perayaan hari raya kaum muslimin, sebuah pesan instan masuk ke telepon pintar saya (meskipun yang punya tidak pintar). Dari “PM”, seseorang yang berdinas di Senayan sana. Kami pun saling berbalas pesan.

***

Kata PM mengawali diskusi,
“Mas Fauzan, apakah kurikulum agama Islam SD, SMP, dan SMA masih mengajarkan sifat duapuluh?”

(“Baru saja pukul setengah sembilan, topiknya sudah berat”, batin saya)

Kebetulan sekali saya sedang berhadapan dengan netbook kesayangan. Setelah berpikir sejenak, tangan saya mengarahkan mouse pointer ke sebuah folder bernama “Undang-Undang”. Segera saya cari yang relevan dengan topik yang ditanyakan oleh PM. Setelah mendapatinya, membaca sekilas, dan memahami maksudnya, lalu saya simpulkan semampunya.

Untuk kemudian saya balas pertanyaannya,
“Kalau dilihat di Keputusan Menteri Agama Nomor 165 Tahun 2014 masih ada mas, materi tentang sifat-sifat Allah.”

Beberapa saat kemudian muncul notifikasi baru. Lagi-lagi dari PM,
“Yang eksplisit sifat duapuluh: wujud, qidam, baqa, dan seterusnya... tolong dipertahankan. Membantu sekali ketika kita berdialog dengan agama lain.”

Sampai sekarang saya masih sering tertukar memahami, antara “eksplisit” dan “implisit”. Sementara itu, frasa “tolong dipertahankan” sempat tertahan lama di mata saya sebelum masuk ke otak. Otak ini terpaksa berpikir lebih keras lagi. Urgensinya apa dengan saya? Saya ini siapa kok diminta tolong mempertahankan keberadaan materi tersebut dalam kurikulum?

Ya, sudahlah.. dengan gaya sok paham, beberapa menit kemudian saya balik bertanya,
“Oh, begitu ya mas... Oke mas... Siap... Ini analisis pribadi Anda sendiri atau hasil kajiannya siapa mas kalau boleh tahu?”

PM menjawab,
“Ini yang terjadi di lapangan mas. Ada pastor Katolik masuk Islam setelah bertemu dengan pelajaran sifat-sifat duapuluh. Di Youtube, Abdullah Kunde berdebat melawan apologist Kristen dengan menerangkan sifat duapuluh.”

Wah, kok jadi melebar ke umat lain? Siapa Abdullah Kunde? Apologist? Makhluk macam apalagi ini? Ah, sudahlah, biar tidak tambah tegang, iseng-iseng saya berpikir, beruntung sekali si PM, masih sempat-sempatnya meng-oprek youtube di sela-sela kesibukan di Senayan sana. Bahkan, materi yang dikajinya termasuk perang pemikiran kelas berat (bagi saya).

Lagi-lagi dengan gaya sok tahu dan berlagak optimis, saya balas sekenanya,
“Wah, saya malah tidak mengikuti beritanya mas... Tapi insya Allah materi tersebut akan tetap ada mas... Itu kan masuknya akidah... Bahkan sejak TK sudah diajari lewat lagu, kan?”

Ternyata, dia serius dengan topik ini. Lagi-lagi dia meyakinkan saya akan pentingnya materi sifat duapuluh. PM memberi contoh lain. Jika tadi adalah contoh vis a vis dengan agama lain, kali ini dia menggambarkan fenomena yang merongrong dari lingkaran dalam (inner circle) umat Islam sendiri.

PM menegaskan kepada saya,
“Soalnya saya agak khawatir dengan paham mujassimah salafi yang menguat di kampus-kampus.”

Membaca frasa “mujassimah salafi” kepala saya tambah puyeng bin pusing tujuh keliling. Makhluk dari planet manalagi itu?

Namun, lagi-lagi (ini yang terakhir) dengan gaya yang sok tahu, berlagak kalem, dan pura-pura tenang, saya berusaha menenangkan kegundahgulanaan si PM, dengan memungkasi percakapan ini,
“Wah wah aneh-aneh saja... Tapi jangan khawatir mas... Di negeri ini masih ada sistem pengajaran khalaf ala pesantren... Tapi ya PR kaum muslimin bertambah kalau ada paham-paham nyeleneh kayak gini...”

***

Kepala saya bertambah pusing setelah percakapan singkat via aplikasi perpesanan instan tadi. Ada beberapa hal yang membuat beban di pundak saya bertambah.

Kenapa mengkonfirmasi tentang kurikulum ke saya, yang notabene bukanlah bidang yang termasuk dalam tugas dan fungsi saya. Kecuali saya bertugas di Pusat Kurikulum, okelah bisa saya terima. Apakah dia hanya melihat latar belakang pendidikan tinggi saya yang memang jebolan fakultas agama Islam?

Atau, kenapa tidak ke Kementerian Agama saja yang pasti lebih tepat mengurusinya? Bahkan di sana ada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang khusus mengayomi segala tetek bengek permasalahan pendidikan Islam di negeri ini.

Atau sebaiknya justru malah ke Kementerian Pendidikan Tinggi saja, karena topik pembicaraan tersebut ada hubungannya dengan kampus?

Paham mujassimah salafi. Makhluk apalagi ini? Saya baru mendengarnya ya baru kali ini.

Lalu, kemana saja saya selama kuliah di kampus dulu? Mengapa saya tidak mempelajari tentang bahasan tersebut? Ah, ternyata kemiskinan ilmu yang saya derita ini tidak akan kunjung menemukan pelepas dahaganya...

Ternyata saya kurang (kalau tidak mau disebut “tidak”) update terhadap permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat muslim. Terlebih-lebih dalam ranah pendidikan. Bahasa kekiniannya, saya kurang meng-kiwari-kan wawasan dan pola pikir saya sendiri (kalimat macam apa ini?).

Secara tidak langsung, tanggung jawab saya bertambah seiring dengan permasalahan ini. Celakanya, tanggung jawab yang besar tersebut tidak saya seiring-sejalani dengan kapasitas keilmuan saya yang dari dulu tetap tidak beranjak dari angka nol besar...

***

Selepas diskusi singkat di atas, ingatan saya kemudian terlempar ke masa-masa puluhan tahun lampau (saya berasa sudah tua aja ya)...

Tentang sifat duapuluh, saya termasuk salah seorang anak negeri ini, yang beruntung bisa mengenal pelajaran tersebut sejak kecil. Pada waktu TK, ibu guru sudah mengajarkannya dalam bentuk syair yang dinyanyikan. Dengan cara pengajaran seperti itu, tentunya kami, para murid-muridnya, akan cepat sekali dan dengan senang hati menghafalkannya.

Ketika duduk di bangku ibtidaiyah, kami diwajibkan mengikuti shalat dhuhur berjamaah di masjid jami’ yang notabene sekompleks dengan sekolahan. Salah satu kenangan manis yang masih melekat dalam benak saya adalah, kami, anak laki-laki, saling berlomba-lomba untuk segera sampai ke masjid. Setelah berwudhu dan saling memakaikan kain sarung, kami langsung menuju microphone yang digunakan oleh si muadzin. Inilah yang kami nanti-nantikan dalam prosesi shalat dhuhur berjama’ah: puji-pujian...

Sambil duduk bergerombol di pojok kiri saf paling belakang, kami bergantian menggilir microphone demi melantunkan lafazh-lafazh kalimat pujian. Kebanggaan tersendiri bagi kami jika suara-suara mungil kami diperdengarkan ke seantero kampung. Oleh karena itulah, kami tidak boleh bercanda ketika sedang melafazhkan puji-pujian, karena bapak guru siap sedia dengan sarung di tangannya, yang bisa berubah jadi pecut bagi anak-anak yang sering guyon di masjid. Biasanya kalimat puji-pujian yang kami lantunkan antara lain berupa doa, shalawat ke atas Nabi, asmaul husna, atau sifat-sifat Allah yang duapuluh...

Dan, sifat-sifat Allah yang duapuluh, yang kami lantunkan puluhan tahun lalu itu, sudah dilantunkan ribuan tahun sejak zaman para pendahulu kami, dan, bi idznillah, akan tetap dilantunkan pula oleh generasi penerus umat Islam.. Ila akhiriz zaman...

Allah..
Wujud..
Qidam..
Baqa..
Mukhalafatuhu lil hawaditsi..
Qiyamuhu binafsihi..
Wahdaniyah..
Qudrat..
’Iradat..
’Ilmu..
Hayat..
Sama’..
Bashar..
Kalam..
Qadiran..
Muridan..
’Aliman..
Hayyan..
Sami’an..
Bashiran..
Mutakalliman...

***

Duhai Rabb..
Karuniakanlah kejernihan berpikir bagi kami..
Generasi yang sebagian besar waktunya tersita di depan gawai..

Duhai Rabb..
Anugerahkanlah kami kemampuan untuk mengingati-Mu, di manapun kami berada..
Kemampuan untuk mensyukuri anugerah-MU, bagaimanapun keadaan kami..
Dan kemampuan untuk bisa memaujudkan sebaik-baik persembahan kepada-Mu..

Duhai Rabb..
Senantiasalah Engkau tuntun hati kami..
Agar kami tetap berada di jalan lurus-Mu..
Agar kami mampu mempertahankan “kurikulum langit” dari-Mu..
Mempertahankan dari anasir-anasir jahat yang ada di dalam maupun di luar umat ini..
Ila akhiriz zaman...

***

Weltevreden, 31 Juli 2016, 22.30 WIB

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Siklus 700 Tahun

Akhbaruz Zaman