Di Tengah-Tengah Nusantara
***
Ambillah
peta Indonesia. Bagilah gugusan kepulauan Nusantara tersebut dengan garis-garis
imajiner yang membelah sama panjang dari utara ke selatan, lalu timur ke barat.
Maka akan dijumpai daerah yang ditunjukkan sebagai Selat Makassar. Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Timur berada di sebelah barat dari selat tersebut. Sedangkan
Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan di sebelah timurnya. Sehingga tidaklah
salah jika wilayah-wilayah tersebut dalam pembagian waktu dimasukkan pada Waktu
Indonesia Bagian Tengah (WITA), yang berarti waktu di sana lebih cepat satu jam
daripada di Serambi Makkah, dan lebih lambat satu jam dibanding di Bumi
Cendrawasih. Karena hal inilah, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa daerah-daerah
tersebut terletak hampir di tengah-tengah Nusantara.
Kemudian
saya teringat pelajaran sejarah. Tentang rencana RI-1 kala itu, Ir. Soekarno,
yang sudah merencanakan pemindahan ibukota negara ke Palangka Raya. Menurut
beliau wilayah Kalimantan relatif aman dari bencana alam seperti gempa bumi dan
gunung meletus. Selain itu, Indonesia juga dilintasi equatorial bumi yang ada
di Borneo. Beliau menganggap Palangka Raya yang berada di Kalimantan Tengah,
berada di tengah-tengah Nusantara, sehingga ideal untuk dijadikan pusat roda
pemerintahan. Namun, cita-cita beliau kalah cepat dengan roda nasib yang harus
mengakhiri kiprah beliau sebagai presiden republik. Dan sampai sekarang pun,
wacana pemindahan ibukota hanya menjadi kisah pelengkap pengantar mimpi tiap
pergantian presiden.
***
Kali
ini saya diberikan kesempatan untuk menjejakkan kaki di daratan Borneo, pulau
terbesar ketiga di bumi setelah Tanah Hijau (Denmark) dan Papua (Indonesia dan
Papua New Guinea). Lebih tepatnya saya berkunjung ke Kota Banjarmasin, ibukota dari
provinsi Kalimantan Selatan.
Ada
satu hal, yang menurut saya unik, terkait dengan kunjungan saya ke Kalimantan
Selatan, provinsi di mana Kota Banjarmasin berada. Beberapa minggu sebelumnya,
di atas kereta Jakarta-Semarang, saya menamatkan sebuah novel tentang teknik
bertahan hidup (survival) di alam
liar, yang berjudul “13 [Srikandi
Survivor]”. Karya sastra buah olah pikir Ganezh tersebut mengambil
Pegunungan Meratus sebagai latar tempatnya. Ternyata, tanpa saya duga dan di
luar kehendak pribadi, beberapa minggu kemudian saya diberikan kesempatan untuk
mengunjungi Kota Banjarmasin yang masih seprovinsi di mana Pegunungan Meratus
berada. Wallahu a’lam...
***
Banjarmasin
memiliki julukan Kota Seribu Sungai. Karena memang di sini banyak sekali sungai-sungai
yang membelah daratannya, salah satunya adalah Barito, sungai terpanjang ketiga
di Indonesia. Meskipun faktanya, berdasarkan literatur, jumlah sungai di
Banjarmasin tidak mencapai angka seribu. Bahkan, berdasarkan perhitungan
terkini yang saya peroleh dari media daring, jumlah sungai di Banjarmasin sudah
berkurang drastis, hanya sekitar enampuluhan. Jumlah inipun masih banyak,
menurut saya. Karena di kota kelahiran saya di Semarang, hanya ada dua sungai
yang terkenal, Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Istilah “banjir
kanal” pun kurang tepat. Seharusnya “kanal banjir”.
Istilah
seribu memang jamak digunakan untuk menyebut jumlah yang sangat banyak.
Di
Kota Semarang terdapat Museum Perkeretaapian yang dinamai Lawang Sewu, yang
berarti Seribu Pintu, karena memang bangunan tersebut mempunyai pintu yang
banyak. Saya sendiri percaya dengan jumlah pintunya yang berjumlah seribu. Bagi
yang meragukan, silakan berkunjung ke sana, dan hitung sendiri jumlah pintunya.
Masyarakat
Jawa Tengah dan Jogjakarta juga memiliki legenda tentang proses pembangunan
candi di daerah Prambanan yang konon berjumlah seribu candi. Meskipun faktanya jumlah
reruntuhan candinya tidak ada seratus.
Kita
juga sejak kecil sudah mendengar tentang kisah Alfu Lail wa Lail alias Kisah
Seribu Satu Malam dari negerinya si Laila dan si Qais di Timur Tengah.
Bahkan Allah juga mengisahkan tentang sebuah malam yang nilainya lebih baik
dari seribu bulan, yaitu malam diturunkannya Bacaan Yang Mulia.
***
Masjid Raya
Sabilal Muhtadin
Pada
hari pertama saya tiba di Banjarmasin, saya sengaja meluangkan waktu pada sore
menjelang magrib untuk mengunjungi Masjid Raya Sabilal Muhtadin. Ini memang
sudah kebiasaan saya, bahwa kalau berkunjung ke suatu daerah, saya usahakan
untuk mengunjungi masjid raya atau masjid besar atau masjid agung daerah
tersebut. Sebagai bentuk penghormatan. Ayah saya yang mengajarkan hal ini.
Perjalanan
pergi-pulang dari penginapan ke Masjid Raya Sabilal Muhtadin saya lakukan
seorang diri dengan berjalan kaki sambil menikmati keramaian Kota Banjarmasin
di kala senja menyemburatkan rona-rona di langit barat...
***
![]() |
Kebiasaan sejak kecil membaca tulisan apapun yang ditemui di jalan. Senang kalau menemui yang unik dan lucu, bahkan aneh. Seperti ini... Mungkin pendukungnya Inter Milan. |
***
Singgasana di
Atas Air
Di
kota kelahiran saya di Semarang, atau bahkan di banyak tempat di negeri ini,
sudah menjadi lumrah jika mencari tempat tinggal yang tidak bersinggungan
dengan air. Dalam hal ini, maksudnya adalah mencari daerah yang tidak terkena
dampak banjir atau rob (air laut pasang).
Namun,
hal sebaliknya justru saya temui di Banjarmasin. Banyak sekali saya jumpai
perkampungan penduduk yang berdiri di atas tanah rawa. Apalagi ketika dalam
perjalanan kami sering melewati beberapa sungai, yang di pinggirnya terdapat
rumah-rumah penduduk, yang mempunyai tiang-tiang penyangga yang melesak ke
dalam sungai. Bahkan sebuah sekolah yang sempat kami kunjungi pun benar-benar
berdiri di atas air. Jarak antara lantai bangunan sekolah dengan air kira-kira
setinggi satu meter.
![]() |
Konstruksi rumah panggung dengan penyangga kayu ulin seperti ini jamak ditemui di Banjarmasin. |
Sebenarnya, ini adalah suatu pelajaran yang dapat kita ambil hikmahnya, bahwa hidup berdampingan dan selaras dengan alam adalah wujud kearifan lokal yang tidak mustahil untuk diwujudkan.
Saya
trenyuh sendiri melihat kenyataan ini. Kalau di Jawa, begitu ada proyek
pembangunan (apapun itu) yang bersinggungan dengan ekosistem air, hanya ada
satu mekanisme penyelesaiannya “urugisasi”...
Padahal,
tanah yang dipakai untuk mengurug sejatinya kan juga mengambil dari ekosistem
lain. Kemudian ditimpakan ke ekosistem lain pula. Secara logika, berarti dua
ekosistem sudah tamat riwayatnya.
Saya jadi teringat tentang pelajaran agama yang diajarkan guru saya.
Tentang sebuah ayat di dalam Kitab Suci yang menerangkan bahwa singgasana-NYA
berada di atas air.
Orang
Banjar sudah membuktikan kebenaran ayat tersebut. Mereka, sehari-hari, duduk di
atas air.
***
Langgar dan
Mushalla yang Wah
Satu
hal yang membuat saya terheran-heran ketika mengunjungi Kota Banjarmasin adalah
bagaimana cara penduduk Banjarmasin mendefinisikan langgar ataupun mushalla.
Ketika saya berkeliling dalam Kota Banjarmasin, di sepanjang jalan kerapkali
saya jumpai bangunan-bangunan, yang dengan membaca papan penunjuk namanya,
dapat diketahui bahwa itu adalah langgar ataupun mushalla.
Namun,
yang membuat saya kagum adalah ukuran dan desain tempat yang disebut langgar
ataupun mushalla tersebut. Kalau saja langgar-langgar dan mushalla-mushalla
tersebut terdapat di Jawa, maka bangunan itu sudah layak dan pantas disebut
dengan masjid. Karena memang ukuran langgar dan mushalla di Banjarmasin
besar-besar, serta mempunyai desain yang mewah jika dilihat dari fasade
bangunannya. Yang lebih membuat saya kagum lagi adalah keberadaan langgar dan
mushalla di Banjarmasin berada di jalan-jalan besar di tengah-tengah kota.
Berbeda sekali dengan di Jawa yang terletak di tengah-tengah kampung.
Dalam
hati saya sedikit iseng. Jika langgar dan mushalla saja seperti ini, maka
sebesar dan semegah apa pula masjid-masjid di sini?
Saya
kemudian menjadi teringat dengan sebuah langgar di desa tempat ibu saya
dilahirkan di Sragen. Langgar yang hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah
ibu saya itu berukuran kecil, yang kira-kira hanya mampu menampung tidak lebih
dari sepuluh orang jamaah.
***
Masjid Sultan
Suriansyah
Rombongan
kami tiba di Masjid Sultan Suriansyah menjelang waktu ashar. Kami menyempatkan
untuk berjamaah ashar setelah sebelumnya mendirikan sembahyang penghormatan
kepada masjid.
Imam
yang memimpin shalat masih muda sekali. Bahkan saya sempat menebak-nebak
mungkin masih sebaya dengan saya. Usianya mungkin tidak lebih dari bilangan
tigapuluh tahun.
Ternyata
banyak sekali jamaah dari kalangan anak-anak. Belakangan saya melihat ada
sebuah madrasah yang masih satu kompleks dengan masjid ini. Ternyata mereka
adalah peserta didik dari madrasah tersebut.
Lantai
Masjid Sultan Suriansyah terbuat dari kayu, sehingga menimbulkan bunyi glodak-glodak yang riuh sekali ketika
jamaah meletakkan lututnya ke lantai saat melakukan sujud setelah berdiri.
Saya
juga sempat menjumpai tradisi yang unik. Selepas shalat ashar seluruh jamaah
saling bersalam-salaman ular-ularan tanpa terkecuali tua-muda maupun anak-anak.
Bahkan para jamaah anak-anak mencium tangan orang yang lebih dewasa, termasuk
tangan saya juga menjadi sasaran mereka.
Selesai
shalat saya sempatkan untuk mengambil gambar sebagai kenang-kenangan bahwa saya
sudah pernah ke sini. Biasanya, ibu, ayah, dan kakak saya akan senang sekali
ketika saya menunjukkan foto-foto saya setelah berkunjung ke suatu daerah.
Sebuah kesempatan yang tidak pernah dirasakan oleh mereka bertiga.
Selesai
mengambil beberapa foto, saya sambangi sebuah pos penjagaan yang berada di
sebelah pintu masuk area masjid. Di sana saya jumpai seorang bapak yang memperkenalkan
dirinya sebagai penjaga masjid tersebut. Melalui beberapa kali tanya jawab,
dari beliau saya peroleh informasi singkat tentang sejarah masjid tersebut:
Bapak
tadi bercerita bahwa Masjid Sultan Suriansyah dibangun pada abad XVI, sehingga
secara matematis bangunan masjid yang konstruksinya menggunakan kayu ulin
tersebut tergolong bangunan tua yang sudah berumur limaratusan tahun. Jadi
memang sudah selayaknya dilindungi oleh negara, dan dirawat sebagai cagar
budaya, seperti informasi yang terpampang di papan petunjuk yang menempel di
bagian depan masjid.
Sultan
Suriansyah dan keluarganya pada awalnya adalah penganut keyakinan Suku Dayak
Kaharingan. Kemudian pada suatu ketika, Sultan Suriansyah yang sedang mengalami
permasalahan pelik, mendapatkan pertolongan dari salah seorang pemuka agama
yang berasal dari Jawa. Sampai pada akhirnya sang sultan beserta keluarganya
kemudian memeluk Islam, lalu beliau mendirikan sebuah masjid di tepi Sungai
Kuin ini.
Mengenai
desain atap masjid yang berbentuk sirap bertumpang, bapak si penjaga tadi
mengatakan bahwa bentuk tersebut terinspirasi dari bentuk atap Masjid Agung
Demak di tanah Jawa, sembari kulihat arah yang ditunjukkan oleh gerakan tangan si
bapak yang mengarah ke bagian atap masjid. Mungkin itu sebagai tanda terima
kasih Sultan Suriansyah kepada ulama tanah Jawa yang telah memberikan
pertolongan kepadanya.
![]() |
Bagian bercungkup yang di sebelah kanan adalah tempat pengimaman. Gambar diambil dari tempat wudhu. Masjid berdesain panggung ini juga menggunakan kayu ulin sebagai konstruksinya. |
Sebelum
pulang sempat kujabat erat tangan bapak tadi sembari mengucapkan terima kasih
atas pelajaran sejarah yang tidak kujumpai di bangku sekolah.
***
Ketika
saya membuka Google Maps ternyata saya melihat ada kompleks Makam Sultan
Suriansyah yang letaknya cukup dekat dengan Masjid Sultan Suriansyah. Sekalian
saja kami menuju ke sana. Tidak sampai lima menit dari Masjid Sultan Suriansyah
kami sudah memasuki halaman makam yang letaknya juga masih di tepian Sungai
Kuin ini.
Saat
kami sampai di sana, suasananya cukup sepi. Saya hanya menjumpai juru parkir
dan petugas kebersihan yang sedang bekerja. Di sebelah kanan dari pintu
gerbang, saya melihat ada sebuah bangunan bertuliskan Museum Makam Sultan
Suriansyah. Saya memberanikan memasukinya, tentunya setelah meminta izin
terlebih dahulu kepada juru parkir tadi.
Kesan
pertama ketika memasukinya adalah kurang terawatnya bangunan ini. Ruangan yang
berukuran sekitar 3 x 3 meter ini gelap dan pengap. Di dalamnya terdapat
foto-foto dan lukisan-lukisan gambar orang, yang sayangnya, mayoritas tidak
diberi keterangan. Ini fotonya siapa. Ini lukisannya siapa. Kemudian juga
terdapat artefak-artefak yang juga minim informasi mengenai nama dan
asal-muasalnya. Hanya bagan silsilah yang saya dapat membacanya. Dan saya
menemukan nama Sultan Suriansyah di dalam silsilah tersebut.
Saya
cukup khawatir dengan kekurangpedulian negeri ini terhadap sejarah bangsanya
sendiri. Yang saya khawatirkan adalah akan terjadinya keterputusan hubungan
sejarah (historical missing link) antara orang-orang
generasi yang akan datang dengan generasi pendahulunya.
Saya
kemudian menuju kompleks makam Sultan Suriansyah. Ternyata ada beberapa orang
yang ada di dalam sejak tadi, namun saya tidak melihatnya. Sebelum saya masuk,
saya melihat ada seorang bapak yang duduk menghadap saya. Di depan tempat duduk
bapak tersebut lantainya berupa kaca bening. Saya melihat bahwa mulutnya sedang
komat-kamit seperti sedang membaca sesuatu. Saya meminta izin padanya untuk
memasuki makam. Namun beliau tidak menjawab. Pandangannya tetap dibuang jauh
keluar sambil terus merapalkan sesuatu. Saya mengulangi meminta izin. Lagi-lagi
si bapak tidak menggubris keberadaan saya sama sekali. Ternyata... setelah saya
perhatikan dengan teliti dan saya analisis untuk saya simpulkan dengan seksama,
bapak tersebut (maaf) tidak bisa melihat dengan kedua bola matanya. Atau
barangkali analisis dan kesimpulan saya bisa saja salah. Wallahu a’lam.
Akhirnya
saya nekat masuk saja. Terdapat denah yang menggambarkan letak-letak makam dan
nama-nama orang yang dimakamkan di situ. Saya melihat ada beberapa makam di
dalam bangunan ini. Makam Sultan Suriansyah adalah berada di sebelah kiri
dengan bangunan yang paling besar.
Seorang
nenek yang saya jumpai di dalam kompleks makam, yang saya taksir sudah sepuh
usianya, bertanya tentang asal saya. Mengetahui jawaban saya beliau sedikit
kaget. Beliau menyuruh saya untuk menemui seorang juru kunci makam untuk
membimbing doa terlebih dahulu. Saya pun mengiyakan. Saya temui sang juru kunci
yang dimaksud ibu tadi. Oleh bapak juru kunci, saya dipersilakan duduk di
hadapannya. Di sebelahnya ada tempat untuk menampung air, beberapa buah botol,
dan macam-macam bunga. Keyakinan saya mengatakan bahwa saya merasa ragu untuk
mengikuti ritual ini. Sebelum terlalu jauh melangkah, saya mengalihkan
konsentrasi si bapak dengan menanyakan perihal kaca bening tadi. Ternyata di
bawah kaca bening tadi adalah susunan batu-batuan asli kompleks pemakaman ini. Langsung
saya sambut tentang cerita saya yang baru saja mengunjungi Masjid Sultan
Suriansyah. Sejurus kemudian saya langsung memberanikan diri meminta izin untuk
langsung berdoa sendiri di depan makam Sultan Suriansyah. Bapak itu akhirnya
mengiyakan saja.
Segera
kulangkahkan kaki ke makam Sultan Suriansyah. Kulihat nenek tadi menuju ke si
bapak juru kunci. Sempat terlintas di telinga saya, bahwa si nenek mengabarkan
kepada bapak juru kunci, suaranya lumayan terdengar, “Jauh-jauh dari Jawa...”
Di
depan makam Sultan Suriansyah, saya panjatkan doa untuk seluruh keluarga Sultan
Suriansyah. Tentunya dengan adab, tatacara, dan lafazh doa yang sesuai dengan agama
Islam, yang telah diajarkan oleh guru-guru saya.
***
Nggih...
(sama dengan di Jawa)
Orang
Banjar ternyata mempunyai kesamaan dengan orang Jawa dalam menggunakan kosakata
untuk mengiyakan sesuatu. Pertama kali saya mendengar mereka mengatakan “Nggih” saya merasa apa saya salah
dengar. Saya malah sempat mengira bahwa yang mengatakan itu adalah perantau
dari Jawa. Ternyata dugaan saya salah. Si pengucap adalah orang asli Banjar.
Berkali-kali, dari orang yang berbeda pula, orang-orang Banjar mengiyakan
sesuatu dengan menyebut “Nggih”, sama
persis pelafalan dan maknanya dengan kosakata “Nggih” dalam budaya Jawa. Unik juga ya. Namun, saya belum sempat
mengulik lebih jauh lagi tentang asal mula kesamaan ini.
***
Soto Bang Amat
Kalau
tentang kuliner, saya tidak pintar mendeskripsikan rasa ke dalam larik-larik frasa
dan kata. Saya juga tidak seberbakat Pak Bondan Winarno maupun Pak Hermawan
Sulistyo yang mampu membuat saya menelan ludah berkali-kali ketika melihat
mereka berdua keliling Nusantara sambil makan dengan lahapnya di depan kamera.
Tentang
Soto Bang Amat, biarkan gambar bicara...
![]() |
Warung Soto Bang Amat berdiri di atas Sungai Martapura. Terdapat kios buah-buahan, batu akik, mainan anak-anak, dan suvenir di bagian depannya. |
![]() |
Bagian belakang Warung Soto Bang Amat sekaligus merupakan tempat bersandar (transit) perahu-perahu yang hilir-mudik mengangkut penumpang melintasi Sungai Martapura. |
![]() |
Keramba apung tempat memelihara ikan di belakang Warung Soto Bang Amat. |
![]() |
Sebelum... Daftar menunya unik juga. Bagaimana Anda mendefinisikan kekontradiktifan ini: "Isi (Kosongan)" dan "Separoh isi full"... |
![]() |
Dua puluh menit kemudian... Pesan moralnya: (1) "Jangan ke sana pas hari Jum'at...!" (2) Anda termasuk orang yang bijak jika makan di sana. Karena Anda taat pajak... |
![]() |
Kata seorang guide, "Suasana di sini akan sangat ramai jika jam istirahat kantor." |
***
Oleh-Oleh Khas
Banjarmasin
Pada
malam sebelum rombongan kami kembali ke Jakarta, saya menyempatkan diri untuk
mengunjungi pusat oleh-oleh khas Banjarmasin. Kebetulan sekali tempatnya tidak
jauh dari tempat kami menginap.
Setelah
kurang lebih tigapuluh menit melihat-lihat dan menimbang-nimbang, maka saya
memutuskan untuk menghadiahi buah tangan untuk keluarga di Semarang dengan
membeli:
Amplang
(olahan dari ikan tengiri, ada juga yang menyebutnya “Kuku Macan”).
Lempok
Durian (semacam dodol, tapi dibungkus dengan ukuran yang besar-besar).
Telur
Asin Itik Alabio (saya tidak tahu bedanya dengan telur asin yang lain).
Kue
Sagu Keju (mungkin sama dengan Sagu Keju yang sering dijumpai ketika lebaran).
Olahan
Kering Ikan Saluwang (atau disebut juga Seluang, ukurannya kecil-kecil,
kira-kira sebesar jari kelingking).
Dari
beberapa oleh-oleh tersebut hanya amplang yang sempat saya cicipi. Selebihnya
saya tidak tahu seperti apa rasanya, karena sesampai di ibukota langsung saya
paketkan ke rumah.
Sebenarnya
masih banyak oleh-oleh khas Banjarmasin selain yang sudah saya sebutkan, namun
karena keterbatasan saya tidak mungkin membeli dan membawa semuanya. Mungkin
lain waktu jika masih diberi kesempatan untuk mengunjungi kota ini lagi.
***
Kayuh Baimbai
***
Mulai
ditulis di Banjarmasin, Senin pembuka bulan kesepuluh 2016.
Selesai
ditulis di Jakarta, Senin penutup bulan dan tahun yang sama.