Siang Seberang Istana
***
“Bapak... besok kalau sudah besar, aku duduk
di sana ya...”
Kalimat polos
bernada permintaan tersebut meluncur dari bibir seorang anak kecil. Si Bapak,
lelaki paruh baya yang berdiri tepat di sebelahku, mengiyakan saja ucapan anak yang
sedang dipanggul di pundaknya itu. Anak kecil itu melangitkan kalimat doa
tersebut sambil mengarahkan telunjuknya ke deretan kursi di tribun depan
istana. Sempat kudengar nasehat tentang pentingnya rajin belajar keluar dari
lisan lelaki itu. Sebuah nasehat yang dimaksudkan kepada putri mungilnya, tetapi
juga menyergap gendang telingaku.
***
“Detik-Detik Proklamasi....” Suara khas pembawa acara yang sudah berulang
kali kudengar selama belasan tahun melalui televisi itu menggema keluar dari
beberapa kotak pengeras suara, ketika Istana Merdeka kurang dari seratus meter
lagi terjangkau oleh kaki ini.
Spontan kulihat jam
tangan. Tepat lewat sepuluh menit dari pukul sepuluh. “Habis ini pasti...,” belum selesai aku menggumam, raungan sirine
diikuti dentuman meriam mampu mengheningkan suasana. Aku tetap berjalan ke arah
istana sambil sesekali mengarahkan kepala ke sebelah kiri. Di sana Monumen
Nasional berada. Katanya, sumber suara dentuman artileri tersebut berasal dari
beberapa meriam yang ada di taman sekeliling
Monas. Tapi memang tidak terlihat dari tempat ini. Kurang lebih hampir satu
menit atraksi tujuh belas kali dentuman meriam ini.
***
Hari ini, genap
tujuh puluh satu tahun perayaan kemerdekaan Indonesia. Satu hal istimewa di
hari ini, adalah saya diberi kesempatan untuk mewujudkan salah satu cita-cita
saya sejak masih bocah. Sebuah cita-cita tentang suatu tempat yang hampir tiga
dasawarsa hanya bisa saya lihat dari sebuah kotak ajaib di rumah. Tentang suatu
pagelaran berlevel kenegaraan yang ingin sekali saya ikuti semenjak saya mulai
bisa mengeja huruf dan belajar kata.
Peringatan
Detik-Detik Proklamasi di Istana Merdeka adalah suatu magnet tersendiri bagi
masyarakat ibukota. Acara ini mampu menyedot animo ribuan pengunjung. Meskipun masyarakat
biasa yang ingin menyaksikan harus mengeluarkan tenaga ekstra tersebab terik mentari
yang sudah mulai menyengat, tubuh yang harus berdesak-desakan dengan sesama
pengunjung, dan kaki yang harus rela berjalan karena pemberlakuan verboden bagi kendaraan bermotor di
jalan-jalan seputar istana.
***
Pengamanan pada
acara ini cukup ketat. Hal yang wajar mengingat keberadaan RI-1 beserta deputi di
dalamnya. Pengunjung berstatus tamu undangan terlebih dahulu harus rela
diraba-raba Paspampres serta dikangkangi oleh alat pendeteksi logam sebelum
masuk kompleks istana. Terlihat juga puluhan orang dengan badan tegap berambut
cepak berpakaian batik seragam, dengan alat komunikasi di telinga, tampak
menyebar di keramaian, yang bisa ditebak adalah Paspampres, sedang menebarkan
tatapan tajam ke segenap penjuru. Tatapan saya pun tidak mau kalah dengan
mereka, mata ini menangkap beberapa CCTV yang nangkring di dahan-dahan pohon di
sepanjang jalan depan istana. Beberapa drone
tak luput dari pandangan saya, tampak melayang-layang puluhan kaki dari kepala-kepala
para pengunjung di luar pagar istana. Sinyal telekomunikasi pun lenyap
sepanjang acara berlangsung. Sempat seorang wanita menghampiri saya bermaksud
meminjam telepon genggam untuk menghubungi temannya, karena tidak tersedia
sinyal di jaringan seluler yang digunakannya.
Namun, saya pun memiliki masalah yang sama, sehingga dia maklum kalau saya
tidak dapat membantunya.
***
Sudut pandang para
pengunjung di luar istana sangat terbatas. Tidak seperti ketika kita menonton
di televisi. Pun juga tidak seperti tamu undangan yang disediakan tempat duduk
di tribun dadakan, yang dengan leluasa bisa melihat langsung seluruh prosesi
upacara di dalam halaman istana. Justru pandangan masyarakat umum ke halaman
istana tertutup oleh bagian belakang tribun yang didominasi warna merah putih tersebut.
Untungnya panitia berbaik hati dengan menggelar layar raksasa bagi pengunjung
di luar istana. Tayangan di layar raksasa adalah sama dengan yang biasanya kita
lihat via televisi. Sehingga hal ini tidak ada bedanya dengan nonton bareng.
Hanya saja nonton bareng kali ini memiliki level rasa tidak seperti nobar
pertandingan olahraga seperti biasanya.
***
Tempat saya berdiri
tanpa saya sadari ternyata tepat berada tegak lurus dengan tiang bendera Istana
Merdeka setinggi tujuh belas meter itu. Hal ini saya ketahui ketika lagu
Indonesia Raya telah selesai diperdengarkan, dan nampak bendera merah putih
menyembul berkibar di hadapan saya. Hanya bendera dan puncak tiang berwarna
keemasan saja yang terlihat, sementara sebagian besar tiang putihnya tertutup
oleh tribun dan rerimbunan pohon.
***
Satu hal yang
menjadi hiburan menarik bagi pengunjung adalah adanya atraksi terbang melintas
(fly pass) pesawat tempur. Lewat
layar raksasa, hadirin bisa melihat beberapa pesawat tempur tampak mengudara di
langit ibukota. Para pengunjung terlihat mendongakkan kepala dan mengira-ngira
dari mana arah datangnya pesawat. Beberapa saat kemudian yang ditunggu-tunggu
pun tiba. Enam pesawat tempur terdiri dari F-16 dan Sukhoi membentuk arrow head formation yang tingkat
desibelnya cukup memekakkan telinga, datang dari arah belakang istana, terbang
cukup rendah, membelah gegana sambil mengeluarkan jejak putih memanjang.
Terdengar suara salah seorang pilot dari kokpit menyampaikan pesan dirgahayu
untuk republik:
“Yang terhormat Bapak Presiden Republik
Indonesia serta seluruh rakyat Indonesia yang kami
cintai. Kami elang-elang muda Angkatan Udara mengucapkan Dirgahayu Republik Indonesia...”
Sorak-sorai para
pengunjung pecah seketika. Terlihat di layar raksasa, Presiden bertepuk tangan seraya
menyunggingkan senyum.
***
Seluruh kesatuan,
baik itu dari TNI maupun Polri mengirimkan pasukan dalam upacara ini. Atraksi
menarik lain yang dapat pengunjung saksikan pada penghujung acara, adalah
ketika parade pasukan tersebut keluar meninggalkan halaman istana menuju
lapangan Monas. Masing-masing pasukan berbaris sesuai kelompoknya. Dengan
seragam khas satuan masing-masing, disertai langkah yang rancak seirama dan nyanyian
lagu-lagu perjuangan yang senada, mengiringi para prajurit menuju kendaraan penjemputnya
yang terparkir di Silang Monas untuk kembali ke barak masing-masing.
***
Anak kecil yang dipanggul
bapaknya tadi bukan tidak mungkin akan meraih apa yang dicita-citakannya.
Seperti bait terakhir dari lagunya Virgiawan Listanto berjudul sama dengan
judul tulisan ini, yang semoga mampu membesarkan semangatnya...
“Diraihnya mimpi,
digenggam,
tak dilepaskan lagi...”
***
Dirgahayu
Negeriku...
***
#HUT Kemerdekaan
Republik Indonesia ke-71
#Istana Merdeka
#17 Agustus 2016