Pak JK, Penerjemah Raja Salman, dan Saya

***

Konon, hari ini katanya adalah Jumat Agung. Sebagian orang sedang berada dalam siklus perayaan Paskah. Dari sanalah istilah Telur Paskah itu berasal.

Menilik sejarahnya, tradisi Paskah adalah luapan rasa syukur terhadap datangnya musim semi. Meninggalkan musim dingin yang telah berlalu. Semakna dengan akan dimulainya musim menanam. Menanam benih-benih kehidupan baru.

Telur adalah perlambang kehidupan. Sebutir telur, sekecil apapun bulatannya, berasal dari spesies apapun ia, mengandung intisari yang lengkap dari sebuah kehidupan. Sebuah kehidupan baru.

***

Baginda Nabi Muhammad (shallallahu ’alaihi wasallam) menggelari hari keenam sebagai Sayyidul Ayyam, yang bermakna Penghulu Semua Hari. Tersebab itulah, Penutup Para Nabi dan Rasul itu mensyariatkan sebuah sembahyang khusus dengan rukun-rukun tertentu pada siang tengah hari tersebut. Hal ini menandakan bahwa hari Jum’at memiliki keistimewaan dibandingkan hari-hari lainnya. Istimewa dalam hal apapun. Saya kira sebagian besar orang sepakat tentang hal ini.

Melihat namanya saja sudah kelihatan istimewanya. Hari keenam dalam penanggalan Hijriyah tersebut tidak dinamakan sesuai urutan angka seperti hari-hari lainnya. Jika menggunakan pakem urutan ke-enam, seharusnya ia dinamai Sittatun.

***

Lalu,
Apa hubungan saya dengan kedua tokoh dalam judul tulisan ini?
Tidak ada.

***

Hanya sebuah ketentuan dari Sang Pencipta Hari-lah yang menempatkan saya berada satu majelis dengan kedua tokoh tersebut di sebuah kesempatan. Kesempatan yang tergolong langka dan istimewa bagi orang kampung seperti saya ini.

Pak Jusuf Kalla berada di barisan terdepan di belakang mihrab. Sementara itu, di sebelah kanan, kiri dan belakangnya, ada beberapa pria tegap, yang tak lain tak bukan adalah Paspampres. Pria-pria tersebut sesekali menyapukan pandangan ke sekelilingnya. Mungkin itu sudah menjadi prosedur tetap pekerjaan mereka. Sedangkan saya berada di barisan kedua. Berjarak sekitar sepuluh orang sebelah kanan dari beliau. Saya sendiri tidak menyangka kehadiran RI-2 di tempat ini. Pun juga tidak berencana untuk sembahyang Jum’at di sini. Langkah kakilah yang membawa saya ke masjid ini.

Sementara pria berkacamata yang belakangan saya ketahui adalah Pak Muchlis Hanafi, penerjemah Raja Salman ketika berkunjung ke Indonesia tempo lalu, sedang berdiri di mimbar menyampaikan pesan-pesan penuh makna warisan para ulama, bertindak sebagai tokoh sentral rukun sembahyang Jum’at.

Doktor Ilmu Tafsir jebolan Al-Azhar Mesir tersebut membawakan ajaran Kanjeng Nabi Muhammad (shallallahu ’alaihi wasallam) tentang toleransi antarumat beragama. Tak sedikit kisah-kisah historis yang menceritakan pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh Islam di masa lampau yang menjunjung tinggi sikap tasamuh, toleransi, tenggang rasa, saling menghargai, terlontar dari lisan beliau selama khotbah Jum’at tersebut.

***

Siapapun yang hadir di sana, termasuk juga Pak JK, pasti akan merasakan seakan-akan ditampar oleh kenyataan yang terjadi di negeri ini. Hilangnya toleransi. Jangankan antarumat agama lain, umat seagama saja sudah kehilangan sifat saling menghargai. Tenggang rasa pun sudah menjadi barang langka di masyarakat kita.

Sudah selayaknya saya bersyukur digariskan untuk berada di tempat yang agung di hari yang agung pula. Harapan saya, semoga pesan-pesan kedamaian dan rahmat bagi alam semesta tersebut bisa menjadi pencegah kerusakan, pengendali diri, dan pencerah wawasan kebangsaan.

***

***
Masjid Agung Sunda Kelapa
14 April 2017

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Siklus 700 Tahun

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Neraka di Bawah Telapak Kaki Ibu