Setengah Perjalanan Ilmu Pengetahuan Manusia (dari Pengetahuan Primitif ke Metafisika)

***

Manusia sering dikatakan sebagai hewan berpikir. Kenapa hewan? Menurut penulis karena dalam beberapa hal mereka memiliki  kesamaan secara fisiologi (seperti sama-sama memiliki badan, wajah, tangan, kaki, dll), kebutuhan yang sama (makan, minum, berkembang biak, bertahan hidup), dan memiliki pengetahuan terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Namun, tentu manusia jauh lebih unggul daripada hewan karena kemampuannya dalam meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, yang tidak hanya sebatas mengenal alam di sekitarnya, bahkan pengetahuan manusia mampu menembus hingga ke jagat alam semesta. Pengembangan ilmu pengetahuan ini dalam rangka menciptakan suatu budaya dan peradaban.

 

Dalam  sejarah hidupnya manusia harus mampu melahirkan dan menciptakan suatu peradaban yang dibangun di atas pondasi ilmu pengetahuan. Tiap sejarah manusia memiliki peradaban yang berbeda-beda sesuai dengan masanya, karena  tiap masa  hidup manusia dicirikan  dengan tingkat dan kualitas  pengetahuan dan ilmu pengetahuan yang  berbeda, yang selanjutnya membedakan pula corak peradaban yang dibangun oleh manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan manusia berawal dari pengetahuan primitif hingga metafisika yang dibedakan dalam usaha, proses, dan tujuan manusia memperoleh pengetahuan tersebut.

 

Pengetahuan primitif manusia berawal dari usaha manusia memperoleh ilmu pengetahuan dengan usaha mengenali dan memahami alam yang hanya sebatas pada wilayah tinggalnya dengan tujuan untuk memudahkan dan mempertahankan hidup. Bentuk pengetahuan masih sangat sederhana dan dangkal di mana usaha memahami alam  hanya sebatas dalam bentuk pengenalan atau pengindraan warna, bentuk, bau, rasa, rasa dingin atau panas, kasar atau lembut, dan sebagainya, terutama dalam mengenal obyek-obyek yang ada di sekitar yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk pengetahuan primitif ini juga dimiliki oleh hewan-hewan yang berkeliaran di lingkungan mereka, yang juga memiliki kemampuan yang sama mengenali daerah tempat tinggal mereka untuk memudahkan mereka dalam hidup berkembang dan mempertahankan diri. Dari pengetahuan primitif ini manusia memperoleh pengetahuan  dasar mengenai lingkungan di mana ia tinggal.

 

Didorong oleh ambisi yang tiada henti dan tidak puas dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, manusia terdorong untuk meningkatkan kembali kemampuannya itu  dengan masuk ke tahap yang lebih tinggi, di mana manusia mulai mempertanyakan struktur-struktur benda atau obyek-obyek  yang ada di hadapannya, hubungan antara struktur yang satu dengan struktur yang lain di dalam benda atau obyek itu, dari mana asal-usul benda itu, bagaimana benda itu sampai di hadapannya, dan bagaimana obyek itu mengalami kerusakan dari satu waktu ke waktu yang lain. Untuk memenuhi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikirannya, ia mulai mengumpulkan informasi-informasi yang menjadi cikal bakal terbentuknya cabang-cabang ilmu yang lain. Pemahaman yang lebih dalam mengenai alam  ini memacu manusia untuk semakin meningkatkan kemampuannya memperoleh, mengembangkan, dan memperbarui  ilmu pengetahuannya, karena manusia merasa terbantu dengan kumpulan informasi-informasi yang ke depannya sangat berguna bagi generasi selanjutnya.

 

Manusia semakin menunjukkan kemampuan setelah ia memiliki  kemampuan mengenal pengetahuan akan bentuk dan angka yang diperolehnya pada tahap awal belajar mengenal alam. Bentuk dan angka konkret ini membantu manusia dalam membuat konsep atau definisi bagi tiap obyek atau benda yang ia temui meskipun obyek atau benda itu baru baginya. Dari sinilah terbentuk konsep-konsep yang bermacam-macam dan berbeda satu sama lain meskipun obyeknya sama (asal mula standardisasi). Didukung dengan kreativitas, kecerdasan, dan berkat kegigihannya, terciptalah angka-angka matematis dan dibuatnya bentuk-bentuk geometri yang mendorong manusia melakukan penelitian dan secara bertahap menemukan hubungan di antara keduanya, selanjutnya menciptakan rumus-rumus sederhana dan menjadi cikal bakal lahirnya ilmu matematika.

 

Selanjutnya, manusia mengalihkan perhatiannya kepada kejadian-kejadian fenomena alam yang mendorong mereka untuk melakukan penyelidikan dan menemukan bahwa setiap fenomena alam yang lahir disebabkan serangkaian faktor-faktor sebab yang mendasari lahirnya fenomena tersebut. Hal ini menggiring mereka kepada pertanyaan apakah seluruh rangkaian sebab ini merupakan suatu rangkaian sebab tidak terputus dan tak ada ujung pangkalnya; atau apakah  rangkaian sebab itu berakhir kepada sebuah sebab yang merupakan “sebab dari segala sebab”? Dan apabila rangkaian sebab ini berakibat pada sebuah  ujung yang pasti, lalu di manakah ujung itu? Pertanyaan ini menggiring manusia untuk memahami prinsip-prinsip hukum alam yang melahirkan sebuah cabang ilmu dengan tujuan memahami prinsip-prinsip hukum alam.

 

Berawal dari seorang filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 SM) yang menulis sebuah manuksrip mengenai usaha memahami prinsip-prinsip hukum alam yang merupakan karya besarnya di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat dengan susunan ilmu mantiq (logika), fisika, teologi, dan etika, lahirnya metafisika yang berkenaan dengan sebab-sebab yang mendasari semua fenomena alam yang berada di luar jangkauan pengamatan dan di luar pengalaman. Lahirnya metafisika sebagai wujud dari keterbatasan manusia dalam memahami hakikat alam sehingga melahirkan keyakinan adanya Sesuatu yang memiliki kekuatan Maha-dahsyat di luar kendali manusia yang menyebabkan keberadaan fenomena-fenomena alam itu.


***


Hayatun Nufus

Sumbersari – Malang

Januari 2013

Postingan Populer

Alas Tidur Nabi

Menggabungkan Beberapa File PDF Menjadi Satu

Keluarga sebagai Akar Peradaban

Repot*)

Gunungtawang (Jilid 7)

Siklus 700 Tahun

Segalanya Akan Kembali Kepada-NYA

Menelusuri Jejak Bung Karno: Bandung (1)

Neraka di Bawah Telapak Kaki Ibu